Michelle04's Blog

KEWIRAUSAHAAN

PENGEMBANGAN USAHA

Kelompok 9:

Analia Nurendah         : 14609513

Dini Fauziah Rahmah : 15609539

Chairul Anwar                        : 12609703

Michelia Champaca     : 14609579

Fassa Septarico           : 15609382

 

DAFTAR ISI

PENGERTIAN PERKEMBANGAN USAHA 1

PROFIL DAN SEBARAN USAHA KECIL 3

KARAKTERISTIK USAHA KECIL 4

TANTANGAN DAN MASALAH                                                                                      5

STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA KECIL                                                        7

PENGEMBANGAN USAHA KECIL DAN MENENGAH                                           10

SEKILAS MENGENAI EKONOMI DAN PENTINGNYA UKM                               10

STRATEGI PENGEMBANGAN UKM                                                                           14

REFERENSI                                                                                                                         15

 

PERKEMBANGAN USAHA

Perkembangan usaha adalah suatu bentuk usaha kepada usaha itu sendiri agar dapat berkembang menjadi lebih baik lagi dan agar mencapai pada satu titik atau puncak menuju kesuksesan. Perkembangan usaha di lakukan oleh usaha yang sudah mulai terproses dan terlihat ada kemungkinan untuk lebih maju lagi.

Pemberdayaan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) dan Koperasi merupakan langkah yang strategis dalam meningkatkan dan memperkuat dasar kehidupan perekonomian dari sebagian terbesar rakyat Indonesia, khususnya melalui penyediaan lapangan kerja dan mengurangi kesenjangan dan tingkat kemiskinan. Dengan demikian upaya untuk memberdayakan UMKM harus terencana, sistematis dan menyeluruh baik pada tataran makro, meso dan mikro yang meliputi (1) penciptaan iklim usaha dalam rangka membuka kesempatan berusaha seluas-luasnya, serta menjamin kepastian usaha disertai adanya efisiensi ekonomi; (2) pengembangan sistem pendukung usaha bagi UMKM untuk meningkatkan akses kepada sumber daya produktif sehingga dapat memanfaatkan kesempatan yang terbuka dan potensi sumber daya, terutama sumber daya lokal yang tersedia; (3) pengembangan kewirausahaan dan keunggulan kompetitif usaha kecil dan menengah (UKM); dan (4) pemberdayaan usaha skala mikro untuk meningkatkan pendapatan masyarakat yang bergerak dalam kegiatan usaha ekonomi di sektor informal yang berskala usaha mikro, terutama yang masih berstatus keluarga miskin. Selain itu, peningkatan kualitas koperasi untuk berkembang secara sehat sesuai dengan jati dirinya dan membangun efisiensi kolektif terutama bagi pengusaha mikro dan kecil.

Perkembangan peran usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang besar ditunjukkan oleh jumlah unit usaha dan pengusaha, serta kontribusinya terhadap pendapatan nasional, dan penyediaan lapangan kerja. Pada tahun 2003, persentase jumlah UMKM sebesar 99,9 persen dari seluruh unit usaha, yang terdiri dari usaha menengah sebanyak 62,0 ribu unit usaha dan jumlah usaha kecil sebanyak 42,3 juta unit usaha yang sebagian terbesarnya berupa usaha skala mikro. UMKM telah menyerap lebih dari 79,0 juta tenaga kerja atau 99,5 persen dari jumlah tenaga kerja pada tahun 2004 jumlah UMKM diperkirakan telah melampaui 44 juta unit. Jumlah tenaga kerja ini meningkat rata-rata sebesar 3,10 persen per tahunnya dari posisi tahun 2000. Kontribusi UMKM dalam PDB pada tahun 2003 adalah sebesar 56,7 persen dari total PDB nasional, naik dari 54,5 persen pada tahun 2000. Sementara itu pada tahun 2003, jumlah koperasi sebanyak 123 ribu unit dengan jumlah anggota sebanyak 27.283 ribu orang, atau meningkat masing-masing 11,8 persen dan 15,4 persen dari akhir tahun 2001.

Berbagai hasil pelaksanaan kebijakan, program dan kegiatan pemberdayaan koperasi dan UMKM pada tahun 2004 dan 2005, antara lain ditunjukkan oleh tersusunnya berbagai rancangan peraturan perundangan, antara lain RUU tentang penjaminan kredit UMKM dan RUU tentang subkontrak, RUU tentang perkreditan perbankan bagi UMKM, RPP tentang KSP, tersusunnya konsep pembentukan biro informasi kredit Indonesia, berkembangnya pelaksanaan unit pelayanan satu atap di berbagai kabupaten/kota dan terbentuknya forum lintas pelaku pemberdayaan UKM di daerah, terselenggaranya bantuan sertifikasi hak atas tanah kepada lebih dari 40 ribu pengusaha mikro dan kecil di 24 propinsi, berkembangnya jaringan layanan pengembangan usaha oleh BDS providers di daerah disertai terbentuknya asosiasi BDS providers Indonesia, meningkatnya kemampuan permodalan sekitar 1.500 unit KSP/USP di 416 kabupaten/kota termasuk KSP di sektor agribisnis, terbentuknya pusat promosi produk koperasi dan UMKM, serta dikembangkannya sistem insentif pengembangan UMKM berorientasi ekspor dan berbasis teknologi di bidang agroindustri. Hasil-hasil tersebut, telah mendorong peningkatan peran koperasi dan UMKM terhadap perluasan penyediaan lapangan kerja, pertumbuhan ekonomi, dan pemerataan peningkatan pendapatan.

Perkembangan UMKM yang meningkat dari segi kuantitas tersebut belum diimbangi oleh meratanya peningkatan kualitas UMKM. Permasalahan klasik yang dihadapi yaitu rendahnya produktivitas. Keadaan ini disebabkan oleh masalah internal yang dihadapi UMKM yaitu: rendahnya kualitas SDM UMKM dalam manajemen, organisasi, penguasaan teknologi, dan pemasaran, lemahnya kewirausahaan dari para pelaku UMKM, dan terbatasnya akses UMKM terhadap permodalan, informasi, teknologi dan pasar, serta faktor produksi lainnya. Sedangkan masalah eksternal yang dihadapi oleh UMKM diantaranya adalah besarnya biaya transaksi akibat iklim usaha yang kurang mendukung dan kelangkaan bahan baku. Juga yang menyangkut perolehan legalitas formal yang hingga saat ini masih merupakan persoalan mendasar bagi UMKM di Indonesia, menyusul tingginya biaya yang harus dikeluarkan dalam pengurusan perizinan. Sementara itu, kurangnya pemahaman tentang koperasi sebagai badan usaha yang memiliki struktur kelembagaan (struktur organisasi, struktur kekuasaan, dan struktur insentif) yang unik/khas dibandingkan badan usaha lainnya, serta kurang memasyarakatnya informasi tentang praktek-praktek berkoperasi yang benar (best practices) telah menyebabkan rendahnya kualitas kelembagaan dan organisasi koperasi. Bersamaan dengan masalah tersebut, koperasi dan UMKM juga menghadapi tantangan terutama yang ditimbulkan oleh pesatnya perkembangan globalisasi ekonomi dan liberalisasi perdagangan bersamaan dengan cepatnya tingkat kemajuan teknologi.

Secara umum, perkembangan koperasi dan UMKM dalam tahun 2006 diperkirakan masih akan menghadapi masalah mendasar dan tantangan sebagaimana dengan tahun sebelumnya, yaitu rendahnya produktivitas, terbatasnya akses kepada sumber daya produktif, rendahnya kualitas kelembagaan dan organisasi koperasi, dan tertinggalnya kinerja koperasi.

 

PROFIL DAN SEBARAN USAHA KECIL

Ada dua definisi usaha kecil yang dikenal di Indonesia. Pertama, definisi usaha kecil menurut Undang-Undang No. 9 tahun 1995 tentang Usaha Kecil adalah kegiatan ekonomi rakyat yang memiliki hasil penjualan tahunan maksimal Rp 1 milyar dan memiliki kekayaan bersih, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, paling banyak Rp 200 juta (Sudisman & Sari, 1996: 5). Kedua, menurut kategori Biro Pusat Statistik (BPS), usaha kecil identik dengan industri kecil dan industri rumah tangga. BPS mengklasifikasikan industri berdasrakan jumlah pekerjanya, yaitu: (1) industri rumah tangga dengan pekerja 1-4 orang; (2) industri kecil dengan pekerja 5-19 orang; (3) industri menengah dengan pekerja 20-99 orang; (4) industri besar dengan pekerja 100 orang atau lebih (BPS, 1999: 250).

 

Kendati beberapa definisi mengenai usaha kecil namun agaknya usaha kecil mempunyai karakteristik yang hampir seragam. Pertama, tidak adanya pembagian tugas yang jelas antara bidang administrasi dan operasi. Kebanyakan industri kecil dikelola oleh perorangan yang merangkap sebagai pemilik sekaligus pengelola perusahaan, serta memanfaatkan tenaga kerja dari keluarga dan kerabat dekatnya. Data BPS (1994) menunjukkan hingga saat ini jumlah pengusaha kecil telah mencapai 34,316 juta orang yang meliputi 15, 635 juta pengusaha kecil mandiri (tanpa menggunakan tenaga kerja lain), 18,227 juta orang pengusaha kecil yang menggunakan tenaga kerja anggota keluarga sendiri serta 54 ribu orang pengusaha kecil yang memiliki tenaga kerja tetap.

 

Kedua, rendahnya akses industri kecil terhadap lembaga-lembaga kredit formal sehingga mereka cenderung menggantungkan pembiayaan usahanya dari modal sendiri atau sumber-sumber lain seperti keluarga, kerabat, pedagang perantara, bahkan rentenir.

 

Ketiga, sebagian besar usaha kecil ditandai dengan belum dipunyainya status badan hukum. Menurut catatan BPS (1994), dari jumlah perusahaan kecil sebanyak sebanyak 124.990, ternyata 90,6 persen merupakan perusahaan perorangan yang tidak berakta notaris; 4,7 persen tergolong perusahaan perorangan berakta notaris; dan hanya 1,7 persen yang sudah mempunyai badan hukum (PT/NV, CV, Firma, atau Koperasi).

 

Keempat, dilihat menurut golongan industri tampak bahwa hampir sepertiga bagian dari seluruh industri kecil bergerak pada kelompok usaha industri makanan, minuman dan tembakau (ISIC31), diikuti oleh kelompok industri barang galian bukan logam (ISIC36), industri tekstil (ISIC32), dan industri kayu,bambu, rotan, rumput dan sejenisnya termasuk perabotan rumahtangga (ISIC33) masing-masing berkisar antara 21% hingga 22% dari seluruh industri kecil yang ada. Sedangkan yang bergerak pada kelompok usaha industri kertas (34) dan kimia (35) relatif masih sangat sedikit sekali yaitu kurang dari 1%.

 

 

KARAKTERISTIK USAHA KECIL

Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah mencatat bahwa jumlah usaha   kecil adalah sebanyak 44,6 juta unit atau 99,84 % dari total jumlah unit usaha pada tahun 2005. Dari sejumlah usaha tersebut, tenaga kerja yang mampu diserap adalah sebanyak 71,2 juta atau sebesar 88,7%dari total tenaga kerja. Namun demikian, Pendapatan Domestik Bruto (PDB) yang mampu disumbangkan oleh usaha kecil tersebut baru sebesar Rp 1 triliun atau sebesar 42,8% dari total PDB.

Dari data tersebut, tampak bahwa jumlah usaha kecil sangat dominan dibandingkan dengan kelompok skala usaha lainnya. Di samping itu, peran usaha kecil dalam menyerap tenaga kerja relative besar. Penyerapan tenaga kerja tersebut selanjutnya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian, penumbuhan usaha kecil menjadi suatu kebijakan strategis dan efektif dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat dan pertumbuhan ekonomi nasional. Dalam upaya penumbuhan usaha kecil tersebut, perlu diketahui karakteristik serta permasalahan dan kendala yang dihadapi oleh usaha kecil. Pada umumnya, usaha kecil mempunyai cirri antara lain sebagai berikut :

– Biasanya berbentuk usaha perorangan dan belum berbadan hukum perusahaan

– Aspek legalitas usaha lemah

– Struktur organisasi bersifat sederhana dengan pembagian kerja yang tidak baku

– Kebanyakan tidak mempunyai laporan keuangan dan tidak melakukan pemisahan antara kekayaan pribadi dengan kekayaan perusahaan

– Kualitas manajemen rendah dan jarang yang memiliki rencana usaha

– Sumber utama modal usaha adalah modal pribadi

– Sumber Daya Manusia (SDM)  terbatas

– Pemilik memiliki ikatan batin yang kuat dengan perusahaan, sehingga seluruh kewajiban perusahaan juga menjadi kewajiban pemilik.

 

 

 

 

Kondisi tersebut berakibat kepada:

– Lemahnya jaringan usaha serta keterbatasan kemampuan penetrasi pasar dan diversifikasi pasar

– Skala ekonomi terlalu kecil sehingga sukar menekan biaya

– Margin keuntungan sangat tipis
Para pelaku bisnis adalah agen membutuhkan kemampuan untuk memobilisasi modal, memanfaatkan sumber daya alam, menciptakan pasar dan mempertahankan bisnis mereka. Dia mampu mengkombinasikan kekuatan, kemampuan, kapasitas untuk mengelola sumber daya untuk memanfaatkan kesempatan² menjadi kegiatan yang menguntungkan. Meskipun dikatakan bahwa pengusaha tidak diciptakan, juga disepakati bahwa pengusaha tidak dilahirkan sebagai seorang pengusaha. Fakta-fakta ini mengarahkan kita pada kenyataan bahwa para pengusaha yang mempunyai potensi dapat mempelajari bisnis, berorientasi, meningkatkan motivasi dan dirangsang untuk memulai bisnis. Demikian pula, orang-orang dengan potensi tertentu (akan menjadi pengusaha / wanita) harus diidentifikasi dan dikembangkan melalui pelatihan. Apalagi saat ini Indonesia sedang berupaya untuk mengatasi kondisi krisis pada saat ini, maka usaha² skala kecil sangat membutuhkan kemampuan bertahan atau bahkan dikembangkan.

 

 

TANTANGAN DAN MASALAH

Memang cukup berat tantangan yang dihadapi untuk memperkuat struktur perekonomian nasional. Pembinaan pengusaha kecil harus lebih diarahkan untuk meningkatkan kemampuan pengusaha kecil menjadi pengusaha menengah. Namun disadari pula bahwa pengembangan usaha kecil menghadapi beberapa kendala seperti tingkat kemampuan, ketrampilan, keahlian, manajemen sumber daya manusia, kewirausahaan, pemasaran dan keuangan. Lemahnya kemampuan manajerial dan sumberdaya manusia ini mengakibatkan pengusaha kecil tidak mampu menjalankan usahanya dengan baik. Secara lebih spesifik, masalah dasar yang dihadapi pengusaha kecil adalah: Pertama, kelemahan dalam memperoleh peluang pasar dan memperbesar pangsa pasar. Kedua, kelemahan dalam struktur permodalan dan keterbatasan untuk memperoleh jalur terhadap sumber-sumber permodalan. Ketiga, kelemahan di bidang organisasi dan manajemen sumber daya manusia. Keempat, keterbatasan jaringan usaha kerjasama antar pengusaha kecil (sistem informasi pemasaran). Kelima, iklim usaha yang kurang kondusif, karena persaingan yang saling mematikan. Keenam, pembinaan yang telah dilakukan masih kurang terpadu dan kurangnya kepercayaan serta kepedulian masyarakat terhadap usaha kecil.

Secara garis besar, tantangan yang dihadapi pengusaha kecil dapat dibagi dalam dua kategori: Pertama, bagi PK dengan omset kurang dari Rp 50 juta umumnya tantangan yang dihadapi adalah bagaimana menjaga kelangsungan hidup usahanya. Bagi mereka, umumnya asal dapat berjualan dengan “aman” sudah cukup. Mereka umumnya tidak membutuhkan modal yang besar untuk ekspansi produksi; biasanya modal yang diperlukan sekedar membantu kelancaran cashflow saja. Bisa dipahami bila kredit dari BPR-BPR, BKK, TPSP (Tempat Pelayanan Simpan Pinjam-KUD) amat membantu modal kerja mereka.

Kedua, bagi PK dengan omset antara Rp 50 juta hingga Rp 1 milyar, tantangan yang dihadapi jauh lebih kompleks. Umumnya mereka mulai memikirkan untuk melakukan ekspansi usaha lebih lanjut. Berdasarkan pengamatan Pusat Konsultasi Pengusaha Kecil UGM, urutan prioritas permasalahan yang dihadapi oleh PK jenis ini adalah (Kuncoro, 1997): (1) Masalah belum dipunyainya sistem administrasi keuangan dan manajemen yang baik karena belum dipisahkannya kepemilikan dan pengelolaan perusahaan; (2) Masalah bagaimana menyusun proposal dan membuat studi kelayakan untuk memperoleh pinjaman baik dari bank maupun modal ventura karena kebanyakan PK mengeluh berbelitnya prosedur mendapatkan kredit, agunan tidak memenuhi syarat, dan tingkat bunga dinilai terlalu tinggi; (3) Masalah menyusun perencanaan bisnis karena persaingan dalam merebut pasar semakin ketat; (4) Masalah akses terhadap teknologi terutama bila pasar dikuasai oleh perusahaan/grup bisnis tertentu dan selera konsumen cepat berubah; (5) Masalah memperoleh bahan baku terutama karena adanya persaingan yang ketat dalam mendapatkan bahan baku, bahan baku berkulaitas rendah, dan tingginya harga bahan baku; (6) Masalah perbaikan kualitas barang dan efisiensi terutama bagi yang sudah menggarap pasar ekspor karena selera konsumen berubah cepat, pasar dikuasai perusahaan tertentu, dan banyak barang pengganti; (7) Masalah tenaga kerja karena sulit mendapatkan tenaga kerja yang terampil.

STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA KECIL

Untuk itu harus ada strategi yang tepat, yang meliputi aspek-aspek sebagai berikut ini.

Pertama, peningkatan akses kepada aset produktif, terutama modal, di samping juga teknologi, manajemen, dan segi-segi lainya yang penting. Hal ini telah banyak dibahas dalam berbagai forum, seminar, kepustaka an dan sebagainya.

Kedua, peningkatan akses pada pasar, yang meliputi suatu spektrum kegiatan yang luas, mulai dari pencadangan usaha, sampai pada informasi pasar, bantuan produksi, dan prasarana serta sarana pemasaran. Khususnya, bagi usaha kecil di perdesaan, prasarana ekonomi yang dasar dan akan sangat membantu adalah prasarana perhubungan.

Ketiga, kewirausahaan, seperti yang telah dikemukakan di atas. Dalam hal ini pelatihanpelatihan mengenai pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk berusaha teramat penting. Namun, bersamaan dengan atau dalam pelatihan itu penting pula ditanamkan semangat wirausaha. Bahkan hal ini harus diperluas dan dimulai sejak dini, dalam sistem pendidikan kita, dalam rangka membangun bangsa Indonesia yang mandiri, yakni bangsa niaga yang maju dan bangsa industri yang tangguh. Upaya ini akan memperkuat proses transformasi ekonomi yang sedang berlangsung karena didorong oleh transformasi budaya, yakni modernisasi sistem nilai dalam masyarakat.

Keempat, kelembagaan. Kelembagaan ekonomi dalam arti luas adalah pasar. Maka memperkuat pasar adalah penting, tetapi hal itu harus disertai dengan pengendalian agar bekerjanya pasar tidak melenceng dan mengakibatkan melebarnya kesenjangan. Untuk itu diperlukan intervensi-intervensi yang tepat, yang tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah yang mendasar dalam suatu ekonomi bebas, tetapi tetap menjamin tercapainya pemerataan sosial (social equity). Untuk itu, memang diperlukan pranata -pranata yang dirancang secara tepat dan digunakan secara tepat pula. Di antaranya adalah peraturan perundangan yang mendorong dan menjamin berkembangnya lapisan usaha kecil sehingga perannya dalam perekonomian menjadi bukan hanya besar, tetapi lebih kukuh. Dengan Undang-undang tentang Usaha Kecil Tahun 1995, dan Undangundang tentang Perkoperasian Tahun 1992, sesungguhnya aturan dasar itu telah kita miliki. Kedua undang-undang itu telah mengatur pencadangan dan perlindungan usaha serta menyiapkan strategi pembinaan usaha kecil termasuk koperasi. Demikian pula telah ada berbagai kebijaksanaan, baik makro seperti dalam bidang moneter mengenai perkreditan, maupun sektoral termasuk berbagai program pemberdayaan ekonomi rakyat. Untuk pengadaan pemerintah melalui APBN, APBD, dan anggaran BUMN juga telah ditetapkan pengutamaan penggunaan produksi barang dan jasa usaha kecil pada skala-skala tertentu. Semuanya itu tinggal dimantapkan. Undang-undang yang telah ada harus dilengkapi dengan peraturan-peraturan pelaksanaannya dan dilaks anakan dengan konsekuen dan sepenuh hati.

Kelima, kemitraan usaha. Kemitraan usaha merupakan jalur yang penting dan strategis bagi pengembangan usaha ekonomi rakyat. Kemitraan telah terbukti berhasil diterapkan di negara-negara lain, sepeti keempat macan Asia, yaitu Taiwan, Hongkong, Singapore, dan Korea Selatan, dan menguntungkan pada perkembangan ekonomi dan industrialisasi mereka yang teramat cepat itu.

Dengan pola backward linkages akan terkait erat usaha besar dengan usaha menengah dan kecil, serta usaha asing (PMA) dengan usaha kecil lokal. Salah satu pola kemitraan yang juga akan besar artinya bagi pengembangan usaha kecil jika diterapkan secara meluas adalah pola subkontrak (sub-contracting), yang memberikan kepada industri kecil dan menengah peran pemasok bahan baku dan komponen, serta peran dalam pendistribusian produk usaha besar.

Kemitraan, seperti sudah sering saya kemukakan dalam berbagai kesempatan, bukanlah penguasaan yang satu atas yang lain, khususnya yang besar atas yang kecil. Kemitraan harus menjamin kemandirian pihak-pihak yang bermitra, karena kemitraan bukan merger atau akuisisi. Untuk dapat berjalan secara berkesinambungan (sustainable), kemitraan harus merupakan konsep ekonomi, dan karenanya menguntungkan semua pihak yang bermitra, dan bukan konsep sosial atau kedermawanan. Kemitraan jelas menguntungkan yang kecil, karena dapat turut mengambil manfaat dari pasar, modal, teknologi, kewirausahaan, dan manajemen yang dikuasai oleh usaha besar. Akan tetapi, kemitraan juga menguntungkan bagi yang besar karena dapat memberikan fleksibilitas dan kelincahan, di samping menjawab masalah yang sering diha dapi oleh usaha -usaha besar yang disebut diseconomies of scale. Kemitraan dengan demikian dapat meningkatkan daya saing baik bagi usaha besar maupun usaha kecil. Dengan kemitraan bisa dikendalikan gejala monopoli, tetapi tetap diperoleh efisiensi dan sinergi sumber daya yang dimiliki oleh pihak-pihak yang bermitra.

PENGEMBANGAN USAHA KECIL DAN MENENGAH

Pengembangan usaha kecil dan menengah dalam menghadapi pasar regional dan global harus didasari pada upaya yang keras dan terus menerus dalam menjadikan UKM sebagai usaha yang tangguh. Oleh karena itu produk yang diusahakan UKM sekurang-kurangnya mempunyai keunggulan komparatif, bahkan sangat diharapkan mempunyai keunggulan kompetitif. Pendekatan klaster bisnis merupakan upaya pengembangan usaha UKM secara sistemik, sehingga UKM yang ada di dalamnya mempunyai peluang untuk menjadi usaha yang handal dan kompetitif.

 

Strategi pengembangan usaha UKM harus atas dasar kekuatan dan tantangannya, oleh karena itu harus ditopang secara kuat terutama oleh adanya akses ke sumber dana, pasar, sumber bahan baku, teknologi, informasi dan manajemen.

SEKILAS MENGENAI EKONOMI DAN PENTINGNYA UKM

Prospek ekonomi dunia diprakirakan membaik pada tahun 2004 dan selanjutnya melambat pada tahun 2005-2006. Di lain pihak prospek ekonomi Indonesia tahun 2004-2006 diprakirakan terus membaik, ditandai oleh pertumbuhan ekonomi yang meningkat secara bertahap hingga sekitar 6 % pada tahun 2006. Kemudian dilihat dari kontribusi sektoral, maka sektor industri, sektor perdagangan dan sektor pertanian diprakirakan menjadi sektor utama pertumbuhan PDB tahun 2004-2006 (Miranda S.Goeltom, 2004). Walaupun terdapat kecenderungan perbaikan perekonomian Indonesia di masa mendatang sebagai dampak dari kondisi ekonomi global, regional dan adanya perbaikan sarana dan prasarana yang dapat menunjang kegiatan ekonomi domestik, tampaknya perlu diwaspadai kemungkinan adanya beberapa isu kritis yang sering menghambat pertumbuhan ekonomi suatu negara, diantaranya adalah:

(1) Tingginya pengangguran

(2) Rendahnya investasi

(3) Biaya ekonomi tinggi

Isu tingginya penganguran dan ekonomi biaya tinggi merupakan isu lama dan klasik yang selama ini belum dapat diatasi dengan baik. Kemudian isu rendahnya investasi merupakan produk dari kekurang percayaan investor terhadap kondisi perekonomian Indonesia, termasuk di dalamnya masalah politik dan keamanan. Kemungkinan isu kritis tersebut berpengaruh terhadap aktivitas ekonomi Indonesia ke depan. Oleh karena itu, harus cepat direspon oleh semua pihak, terutama pihak pemerintah khususnya dalam menen-tukan kebijakan pengembangan ekonomi nasional pada tahun 2005-2009.

 

Pengalaman Indonesia selama tiga puluh tahun kebelakang terutama pada tujuh tahun terakhir, memberikan informasi dan sekaligus pelajaran berharga bagi kita, bahwa pada masa lalu runtuhnya perekonomian Indonesia ternyata sebagai akibat dari kekurang mampuan pengambil keputusan di pemerintahan Indonesia saat itu dalam merespon berbagai isu kritis, seperti telah disebutkan di atas.  Pada saat itu perekonomian Indonesia hanya bertumpu pada beberapa usaha skala besar (konglomerat). Oleh karena itu, respon yang cepat dan tepat terutama oleh pihak pemerintah terhadap isu kritis yang selalu menghantui kegiatan perekonomian tersebut akan sangat bermanfaat bagi kemungkinan ketahanan dan sekaligus keamanan perekonomian Indonesia di masa mendatang. Dengan demikian, kebijakan pemerintah untuk memberikan kesempatan yang Infokop Nomor 25 Tahun XX, 2004 115 sama kepada kegiatan usaha kecil dan menengah (UKM) untuk dapat maju dan berkembang sesuai dengan kapasitas dan kapabilitasnya, merupakan sesuatu yang sangat berharga bagi ketahanan dan keamanan perekonomian Indonesia di masa mendatang. Ini artinya bahwa UKM harus dapat tumbuh dengan baik, sehingga masalah mengenai pengangguran, rendahnya minat investasi dan ekonomi biaya tinggi dapat berkurang secara nyata.

 

Manggara Tambunan (2004) menyebutkan bahwa setelah krisis ekonomi berjalan selama tujuh tahun, salah satu pelajaran berharga yang dapat diambil adalah bahwa:

(1) Ekonomi Indonesia tidak dapat hanya mengandalkan peranan usaha besar,

(2) Usaha kecil menengah (UKM) memiliki ketahanan yang lebih baik dibandingkan dengan usaha besar karena UKM lebih efisien

(3) Hingga sekarang belum ada kejelasan kebijakan industri dan bagaimana yang diadopsi agar lebih mampu mempercepat pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja bagi pengangguran dan kemiskinan.

Usaha kecil dan menengah merupakan salah satu kekuatan pendorong terdepan dan pembangunan ekonomi. Gerak sektor UKM amat vital untuk menciptakan pertumbuhan dan lapangan pekerjaan. UKM cukup fleksibel dan dapat dengan mudah beradaptasi dengan pasang surut dan arah permintaan pasar. Mereka juga menciptakan lapangan pekerjaan lebih cepat dibandingkan sektor usaha lainnya, dan mereka juga cukup terdiversifikasi dan memberikan kontribusi penting dalam ekspor dan perdagangan.

Di Indonesia, sumber penghidupan amat bergantung pada sector UKM. Kebanyakan usaha kecil ini terkonsentrasi pada sector perdagangan, pangan, olahan pangan, tekstil dan garmen, kayu dan produk kayu, serta produksi mineral non-logam. Mereka bergerak dalam kondisi yang amat kompetitif dan ketidakpastian; juga amat dipengaruhi oleh situasi ekonomi makro. Lingkungan usaha yang buruk lebih banyak merugikan UKM daripada usaha besar.

Agar dapat berkompetisi secara efektif, UKM dituntut untuk dapat menekan biaya produksi mereka dengan mengadopsi teknologi usaha yang tepat guna. Aktivitas subkontrak adalah jalan yang paling umum ditempuh untuk menekan sejumlah biaya dan ini telah berperan penting dalam kesuksesan integrasi UKM ke dalam usaha yang lebih dinamis, yaitu sektor industri yang berorientasi ekspor, seperti yang terjadi di Jepang dan Republik Korea. Aktivitas subkontrak sampai saat ini belum meluas di Indonesia. Kenyataan yang terjadi, kebanyakan kesempatan pasar ini terhambat karena kebijakan yang ada secara efektif mencegah UKM untuk menjadi subkontraktor bagi perusahaan lain kecuali untuk aktivitas yang dirasakan hanya sebagai penunjang bagi aktivitas perusahaan.

Peraturan yang mengurangi pilihan untuk aktivitas subkontrak, telah mengurangi kesempatan bagi UKM untuk mendapatkan akses penting dan menguntungkan pada sejumlah pangsa pasar potensial, serta menghambat pertumbuhan sektor UKM. Pemerintah harus mengkaji ulang peraturan mengenai ketenagakerjaan dan khususnya UU no 13 tahun 2003 pasal 65 dimana pemerintah memberikan pengertian tentang pekerjaan apa yang boleh dan tidak boleh menggunakan aktifitas outsource.

Pendidikan bisnis dan pendidikan professional di Indonesia saat ini telah tertinggal. Agar masyarakat dapat memiliki semangat kewirausahaan, upaya-upaya baru dan radikal yang mengarah kepada pendidikan lebih tinggi dalam skala besar tertentu amat sangat dibutuhkan. Kurikulum harus terfokus kepada pengembangan nilai-nilai kewirausahaan, kebudayaan, promosi terhadap inovasi, penguasaan keahlian manajerial yang modern dan spesialisasi profesi. Pemerintah dapat mendorong perkembangan UKM melalui skema pendidikan yang lebih baik, yang terbagi dalam dua bidang:

Pertama, Pemerintah harus memasukkan pendidikan dasar bisnis yang baik dan berkualitas ditingkat SMU dan Perguruan Tinggi Keahlian bisnis yang sangat mendasar dan sangat dibutuhkan adalah: akuntansi dan keuangan, perencanaan bisnis, sumber daya manusia, hukum dan asuransi, pemasaran dan penjualan, keahlian operasional dan teknologi.

Kedua, Pemerintah harus mendorong investasi dalam bidang institusi pelatihan swasta yang memberikan berbagai macam pelatihan bisnis khusus jangka pendek yang modern. Institusi-institusi ini dapat membantu manajemen UKM untuk mencapai tingkat efisiensi dan produktivitas yang lebih tinggi serta memperkenalkan teknik operasional yang baru

 

Sehubungan dengan permasalahan secara umum yang dialami oleh UKM, Badan Pusat Statistik (2003) mengidentifikasikan permasalahan yang dihadapi oleh UKM sebagai berikut:

– Kurang permodalan

– Kesulitan dalam pemasaran

– Persaingan usaha ketat

– Kesulitan bahan baku

– Kurang teknis produksi dan keahlian

– Keterampilan manajerial kurang

– Kurang pengetahuan manajemen keuangan

– Iklim usaha yang kurang kondusif (perijinan, aturan/perundangan)

STRATEGI PENGEMBANGAN UKM

Strategi yang diterapkan dalam upaya mengembangkan UKM di masa depan terlebih dalam menghadapi pasar bebas di tingkat regional dan global, sebaiknya memperhatikan kekuatan dan tantangan yang ada, serta mengacu pada beberapa hal sebagai berikut:

(1) Menciptakan iklim usaha yang kondusif dan menyediakan lingkungan yang mampu mendorong pengembangan UKM secara sistemik, mandiri dan berkelanjutan

(2) Mempermudah perijinan, pajak dan restribusi lainnya

(3) Mempermudah akses pada bahan baku, teknologi dan informasi

(4) Menyediakan bantuan teknis (pelatihan, penelitian) dan pendampingan dan manajemen

(SDM,keuangan dan pemasaran) melalui BDSP.

(5) Secara rutin BDSP melakukan pertemuan, lokakarya model pelayanan bisnis yang baik dan

tepat

(6) Mendorong BDSP untuk masingmasing memiliki keahlian khusus (spesialis), seperti: di bidang Infokop Nomor 25 Tahun XX, 2004 120 Pengembangan SDM, Keuangan, Pemasaran. Ini terutama diperlukan bagi upaya pelayanan kepada usaha menengah yang pasarnya regional dan global

(7) Menciptakan sistem penjaminan kredit (financial guarantee system) yang terutama disponsori

oleh pemerintah pusat dan daerah

(8) Secara bertahap dan berkelanjutan mentransformasi sentra bisnis (parsial) menjadi kluster

bisnis (sistemik).

 

 

 

 

 

 

REFERENSI:

 

 

 

Kesetiakawanan social dalam bencana alam

 

Rupanya ujian bagi bangsa ini masih berkelanjutan. Cobaan beruntun seperti tidak ada habisnya, bencana alam, seperti banjir terjadi di mana-mana dan ternyata bukan monopoli Jakarta saja. Tanah longsor sampai gempa bumi yang meluluh-lantahkan tanah sorong (papua). Belum lagi cobaan deraan krisis ekonomi, yang mulai sekarang sudah mulai dirasakan akibatnya dan diperkirakan dua-tiga bulan mendatang akan lebih memprihatinkan lagi. Ujian dan cobaan yang tampak akan semakin meningkatkan kemiskinan dan pengangguran di negeri yang kita cintai ini, seyogyanya harus disikapi dengan sungguh-sungguh oleh seluruh komponen bangsa; baik itu pemerintah, masyarakat, dan kita sendiri.

Tafsiran atas data kemiskinan berdasarkan TKPKRI (Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Republik Indonesia), Maret 2007, bahwa angka kemiskinan mencapai 37,17 juta (16,58%) dan di pedesaan mencapai 63,52%. Garis kemiskinan dengan indikator penghasilan Rp. 166.697,- per- bulan, untuk Garis Kemiskinan Makanan (GKM) mencapai 74,38%. Sedangkan perhitungan berdasarkan Indeks Kedalaman Kemiskinan terjadi penurunan dari 3,43 (2006) ke 2,99 (2007). Indeks Keparahan Kemiskinan dari 1.00 (2006) ke 0.83 (2007). Ini berarti. rata-rata pengeluaran penduduk miskin cenderung makin mendekati garis kemiskinan. Untuk tingkat pengangguran sendiri, posisi kita tertinggi di ASEAN. Bahkan dikatakan memberikan kontribusi 60% pengangguran di kawasan ini. Jumlah pengangguran telah mencapai di atas 10 juta orang dan diperkirakan akan bertambah sekitar 2.5 juta pada tahun ini sebagai akibat (terbanyak) pemutusan hubungan kerja seiring melesunya kegiatan industri. Belum lagi bila istilah ’pengangguran terselubung’ juga ikut di hitung maka tentu saja angka pengangguran pun bisa jadi menggelembung.

Ujian dan cobaan memang berat dan terasa akan lebih berat lagi apabila kita harus menanggung beban sendirian. Mungkin ada sebagian di antara kita telah terpola dalam pemikiran ’kesendirian’, individualistik. Di jaman mordernisasi dan globalisasi ini kecenderungan untuk bersikap individualistik hampir dirasakan sebagai suatu kewajaran, terutama di kota-kota besar. Hubungan antara sesama disekat dan dikotak-kotakan oleh kepentingan; di mana kepedulian dan uluran tangan terhadap sesama baru akan muncul dan dibutuhkan bersamaan dengan tuntutan atas kepentingan. Jika tidak berimbal kepentingan maka sentuhan kepedulian pun menjauh. Tidak sedikit yang telah lupa maknawi semboyan bersatu kita teguh bercerai kita runtuh. Tidak sedikit pula yang khilaf pada nilai dan kepribadian bangsa kita, semangat senasib sepenanggungan, perasaan bersama dan gotong royong. Nilai yang kemudian kita kenal dengan rasa kesetiakawanan sosial dan atau solidaritas.

Apa relevansi kemiskinan dan pengangguran dikaitkan dengan kesetiakawanan sosial atau solidaritas ? Sejujurnya seringkali kita salah arah untuk memahami dan meng-implementasikan nilai tersebut. Himbauan untuk menginternalisasi dan eksternalisasi semangat kesetiakawanan cenderung didengungkan untuk menggerakan kepedulian, simpati dan empati kita apabila terjadi musibah, seperti bencana alam. Ramai-ramai lah kita membentuk posko, menggalang santunan dana dan beragam kegiatan sebagai bentuk ekspresi sambung nurani. Lewat seminggu, dua minggu, sebulan maka getar rasa kemanusiaan kita pun kian luntur, berkurang bahkan tidak jarang lenyap entah di mana. Manusiawi ? cukupkah kepedulian itu hanya ditunjukkan manakala bencana terjadi dan setelahnya kepedulian tidak lagi dibutuhkan ?

Mungkin sudah saatnya kita merenungkan rasa sosial, kodrat kita sebagai bagian kecil dari kelompok yang lebih besar, yaitu peradaban keluarga, masyarakat, bangsa dan terlebih mahluk yang bernama manusia. Simpati dan empati sebagai perwujudan rasa kesetiakawanan sosial perlu terus menerus dihidupkan dalam sanubari, ditularkan dan ditanamkan pada anak-anak kita, keluarga dan handai taulan kita untuk kemudian dijalin secara bersama. Demikian pula bagi elite politik dan tokoh masyarakat untuk tidak bosan memberi contoh tauladan. Sungguh turut gembira melihat keberhasilan sebagian (kecil) saudara-saudara kita atas kebelebihan materi hasil jerih payahnya sehingga mampu meluapkan kegembiraan akhir tahun dengan memenuhi tempat peristirahatan yang bagi sebagian orang hanya merupakan angan-angan dan mimpi. Kita pun senang melihat kendaraan mengular memenuhi kepadatan jalan raya, yang mungkin kita bisa tafsirkan sebagai indikator kesejahteraan sebagian dari kita. Kita pun sukacita meski diiringi perasaan cukup terperangah mendengar gaya hidup anak muda (di kota-kota besar, khususnya Jakarta) menghabiskan biaya berpuluh lipat dari indikator penghasilan kemiskinan hanya untuk rehat menghilangkan kepenatan mengunjungi pub atau sejenisnya. Namun rasanya akan lebih membanggakan apabila sebagian saudara-saudara kita itu mau mengekspresikan ketulusan hati untuk memahami kondisi saat ini, kalaupun masih belum dapat mengulurkan tangan untuk membantu maka alangkah elok jika dapat menahan diri atas kelebihan materinya sebagai wujud simpati dan empati kepada saudara-saudara yang masih belum dapat melepaskan diri dari belenggu keprihatinan.

Kita berharap kesetiakawanan sosial bukan sekedar retorika, ekspresi sesaat, seremonial atau menjadi hal yang sering kita dengungkan dan mudah diucapkan namun begitu susah untuk kita laksanakan. Rasa kesetiakawanan sosial sangat kita butuhkan sebagai perekat bersama dalam mengurangi kesenjangan sosial dan mengatasi permasalahan bangsa. Mari kita asah terus kepekaan sosial untuk kemajuan bersama. Dan sejarah negeri merdeka ini sudah membuktikannya.

Hal yang sama juga di bahas oleh wakil presiden saat berada di Tokyo. Wapres menyampaikan hal tersebut saat bertemu dan bersilaturahim dengan masyarakat Indonesia yang tinggal di Jepang di Sekolah Indonesia Tokyo, Minggu malam waktu setempat.

“Akhir-akhir ini kita menghadapi peristiwa yang tidak menggembirakan, namun masyarakat kita teguh saat menghadapi musibah. Tapi kita bisa baca dan dengar bahwa kesetiakawanan masih hidup, dengan masa modern kesetiakawanan masih hidup,” kata Wapres.

Dijelaskannya, musibah bencana alam yang melanda beberapa wilayah di Tanah Air baru-baru ini di sisi lain bisa memperlihatkan bahwa kesetiakawanan dan rasa ingin membantu sesama masih lekat.

“Mereka yang punya tugas untuk menangani, ada juga relawan yang menyediakan diri dan waktunya bahkan ada yang meninggal untuk selamatkan warga masyarakat, saudaranya,” kata Boediono.

Rasa kesetiakawanan juga diperlihatkan, masih menurut Wapres, ketika warga yang rumahnya tidak terkena dampak bencana alam memberikan rumah penampungan sementara.

“Memang ada berita yang tidak terlalu baik dari segi dampak dan akibat bencana. Namun bencana ini juga membuktikan bahwa kesetiakawanan masih ada, mereka tidak berkomentar namun bekerja secara luar biasa,” tegasnya.

Wapres mengatakan, musibah yang hampir beruntun terjadi tersebut hendaknya tidak membuat masyarakat putus asa.

Ia memaparkan Indonesia yang memang terletak di daerah yang rawan bencana telah dibuktikan oleh nenek moyang bangsa ini bahwa dengan keinginan yang kuat maka dapat bertahan dan menyesuaikan diri dengan lingkungan yang ada.

Dijelaskannya, pemerintah sudah memberikan yang terbaik dari yang mampu dilakukan untuk menangani bencana alam tersebut.

Masih terjadi

Dalam kesempatan itu, Wapres mengatakan berdasarkan penelaahan sejumlah ahli, aktivitas gunung Merapi di Daerah Istemewa Yogyakarta masih terjadi dan diharapkan tidak lebih besar dari sebelumnya.

“Kita mengharapkan bila sudah stabil maka pemerintah akan menyiapkan proses rekonstruksi dan rehabilitasi dengan program yang terencana,” paparnya.

Sementara itu untuk penanganan pascabencana di Mentawai, Sumatera Barat, Wapres mengatakan sudah mencapai tahap akhir untuk tanggap darurat dan tengah disiapkan cetak biru rehabilitasi dan rekonstruksi di kawasan tersebut.

“Kita mengharapkan cetak biru ini dapat memberikan tingkat keselamatan yang lebih baik. Wasior juga demikian dan tengah dalam tahap penyelesaian, prinsipnya akan dibangun dengan tata ruang yang benar,” kata Boediono.

Cetak biru yang dimaksud, tambah Wapres, mencakup juga menghidupkan kembali sektor ekonomi dan sosial.

Silaturahmi yang dihadiri sekitar 200 warga Indonesia di Tokyo tersebut dihadiri juga oleh Ibu Herawati Boediono, Duber RI untuk Jepang Muhammad Luthfi, Menko Perekonomian Hatta Rajasa, Mendag Mari Elka Pangestu, Menperin MS Hidayat, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Armida Alisjahbana.

Menurut M Luthfi, di Jepang terdapat 29.000 WNI atau setara dengan jumlah WNI di Korea Selatan. Dari jumlah tersebut 2.850 diantaranya mahasiswa dan ditargetkan dalam beberapa tahun ke depan mahasiswa Indonesia di Jepang bisa mencapai 5.000 orang.

Masih menurutnya, ada pula warga Indonesia yang memiliki kontrak kerja di Jepang sebanyak 5.786 orang diberbagai bidang, yang terbaru adalah di bidang perawat kesehatan.

Sejumlah BUMN juga memiliki kantor perwakilan antara lain Garuda Indonesia, Pertamina, Bank BNI dan PT Aneka Tambang. Bank Indonesia juga memiliki perwakilan di Jepang.

Dan adapun aksi yang dapat kita lakukan sebagai wujud dari kesetiakawanan adalah :

1. Mengumpulkan Sumbangan Sosial

Ada yang berupa kotak amal, dompet peduli, rekening sosial, dan yang lainnya untuk mengumpulkan sumbangan dana, uang atau barang

2. Membentuk Posko Peduli Sosial

Pos komando (posko), pos terpadu, dan pos lainnya dibangun, seringkali bersamaan saat ada musibah pribadi atau bencana massal

3. Mengadakan Bhakti Sosial

Kegiatan bhakti sosial kesehatan seperti ini sudah sering dilaksanakan oleh berbagai organisasi sosial masyarakat, saat hari perayaan tertentu, apalagi ketika ada bencana alam.

4. Menggalang Dukungan Sosial

Membubuhkan tanda tangan, mengumpulkan koin keadilan, memasang spanduk informasi, melakukan aksi demo damai, sebagai wujud kebersamaan.

5. Memanfaatkan Situs Jejaring Sosial

Dunia teknologi informasi sedang ngetrend dimaanfaatkan, melalui situs jejaring sosial pertemanan, FaceBook atau Twitter, untuk mendukung kebersamaan terhadap kasus khusus yang menimpa pejabat publik (kasus pimpinan KPK Bibit-Chandra), tokoh politik, artis selebritis (kasus Luna Maya) atau masyarakat awam biasa (kasus Prita Mulyasari).

Selamat Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional (HKSN), yang peringatannya setiap tanggal 20 Desember. Segala momentum peristiwa apapun baik secara pribadi maupun ada kejadian bersama yang bisa menggugah hati, semoga menumbuhkan semangat menggalang kesetiakawanan sosial nasional. Suatu semangat bersama untuk saling bantu membantu, dan bahu membahu, dalam membangun bangsa dan negara tercinta, menuju kemajuan dan kesejahteraan bersama.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Nama : michelia champaca

Kelas : 2 SA 02

NPM   : 14609579

1.      Jelaskan pengertian sosiologi menurut pandangan saudara, berdasarkan pendapat tentang sosiologi dari beberapa pakar sosiologi yang telah kalian pelajari.

2.      Jelaskan, mengapa sosiologi di kategorikan dalam kelompok ilmu sosial?

3.      Jelaskan perbedaan bahasan antara sosiologi dengan ekonomi atau politik yang juga termasuk di dalam lingkup ilmu-ilmu sosial.

4.      Sebut dan jelaskan empat sifat dari ilmu pengetahuan secara terperinci.

5.      Obyek dari sosiologi adalah masyarakat. Coba jelaskan masyarakat dari sudut pandang yang bagaimana yang menjadi objek dari sosiologi ?

6.      Masyarakat sebagai satu sistem yang terwujud dari kehidupan bersama manusia, tentunya memiliki ciri-ciri pokok agar dapat disebut suatu masyarakat. Sebutkan ciri-ciri pokok dari masyarakat tersebut ?

7.      Untuk mempelajari obyeknya, sosiologi memiliki metode-metode atau cara kerja yang dapat dipakai, diantaranya adalah metode kualitatif dan metode kuantitatif. Jelaskan kedua metode tersebut serta bagaimana penerapannya untuk mempelajari sosiologi ?

8.      Metode fungsionalisme juga sering digunakan oleh sosiologi, mengapa metode ini digunakan oleh sosiologi ?

 

Jawaban.

1.      Sosiologi menurut saya adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang hubungan antara individu dengan individu, individu dengan kelompok, dan kelompok dengan kelompok.

  • Rou cek dan Warren, Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara manusia dalam kelompok-kelompok.
  • J.A.A Von Dorn dan C.J. Lammers, Sosiologi adalah ilmu pengetahuan tentang struktur-struktur dan proses kemasyarakatan yang bersifat stabil.
  • Max Weber, Sosiologi adalah ilmu yang berupaya memahami tindakan-tindakan sosial.

 

2.      Sosiologi dapat di kategorikan sebagai kelompok ilmu sosial karena sosiologi mempelajari tentang berbagai aspek kehidupan masyarakat luas baik dari individu maupun kelompok.

 

 

 

 

 

3.      Sosilogi           : Ilmu yang mempelajari tentang individu, kelompok, dan masyarakat luas yang

mencakup kebudayaan, strata, dan sifat.

Ekonomi        : Ilmu yang mempelajari tentang perekonomian.

4.

a) Logis atau masuk akal, yaitu sesuai dengan logika atau aturan berpikir yang ditetapkan dalam cabang ilmu pengetahuan yang bersangkutan. Definisi, aturan, inferensi induktif, probabilitas, dll. Merupakan bentuk logika yang menjadi landasan ilmu pengetahuan. Logika dalam ilmu pengetahuan adalah definitif. Obyektif atau sesuai dengan fakta. Fakta adalah informasi yang diperoleh dari pengamatan atau penalaran fenomena.

b) Obyektif , yaitu dalam ilmu pengetahuan berkenaan dengan sikap yang tidak tergantung pada suasana hati, prasangka atau pertimbangan nilai pribadi. Atribut obyektif mengandung arti bahwa kebenaran ditentukan oleh pengujian secara terbuka yang dilakukan dari pengamatan dan penalaran fenomena.

c) Sistematis, yaitu adanya konsistensi dan keteraturan internal. Kedewasaan ilmu pengetahuan dicerminkan oleh adanya keteraturan internal dalam teori, hukum, prinsip, dan metodenya. Konsistensi internal dapat berubah dengan adanya penemuan-penemuan baru. Sifat dinamis ini tidak boleh menghasilkan kontradiksi pada azas teori ilmu pengetahuan.

d) Akumulatif, Ilmu pengetahuan merupakan himpunan fakta, teori, hukum, dll. Yang terkumpul sedikit demi sedikit. Apabila ada kaedah yang salah, maka kaedah itu akan diganti dengan kaedah yang benar. Kebenaran ilmu bersifat relatif dan temporal, tidak pernah mutlak sehingga demikian ilmu pengetahuan bersifat dinamis dan terbuka.

5.      Sosiologi sendiri mengkaji dan juga mempelajari suatu sistem dan nilai yang ada dan berkembang di dalam masyarakat. Sosiologi adalah suatu ilmu yang tidak menilai sebuah fenomena sosial dalam masyarakat berdasarkan benar dan salahnya. Sosiologi membahasnya berdasarkan pada sudut pandang yang luas, menilai berdasarkan baik dan buruknya  berdasarkan setiap sudut pandang  masyarakat yang berbeda latar belakang, baik dari sudut pandang ras, etnis, suku bangsa, agama, dan budaya. Sosiologi ini mempunyai peran yang sangat besar dalam masyarakat. Semua aspek kehidupan masyarakat selalu ada dalam kajian sosiologi, mulai dari hal yang kecil sampai hal yang besar dalam masyarakat.

 

 

6.      Ciri-ciri pokok dari masyarakat adalah

a.       hiprokisi atau munafik. Di depan umum kita megancam  kehidupan seks terbuka atau setengah terbuka. Tapi, kita malah membuka tempat mandi uap, tempat pijit, dan elindungi prostitusi.

Kalau ditawari sesuatu akan biang tidak namun dalam hatinya berharap agar tawaran tadi bisa diterima.

b.      Segan dan enggan bertanggung jawab atas perbuatnnya

c.       Berjiwa feodal yang dapat dilihat dalam tata cara upacara resmi kenegaraan

d.      Masih percaya tahayul atau hal-hal yang berbau ghaib

e.       Artistik karena dekaat dengan alam maka manusia indonesia lebih banyak dengan nalur

f.       Dan tidak hormat, boros, serta senang berpakaian bagus dan berpesta

7. Metode kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. 

Penerapan metode kualitatif menggunakan teknik wawancara, observasi, dokumen, dan FGD (Focus Group Discussion)

Penelitian kuantitatif adalah penelitian ilmiah yang sistematis terhadap bagian-bagian dan fenomena serta hubungan-hubungannya. Tujuan penelitian kuantitatif adalah mengembangkan dan menggunakan model-model matematisteri-teori dan/atau hipotesis yang berkaitan dengan fenomena alam.

Penerapan metode kuantitatif  melalui perhitungan ilmiah berasal dari sampel orang-orang atau penduduk yang diminta menjawab atas sejumlah pertanyaan tentang survei untuk menentukan frekuensi dan persentase tanggapan mereka.

8. Metode fungsionalisme digunakan oleh sosiologi karena Sosiologi sebagai ilmu sosial, Sosiologi berupaya menelusuri fungsi
berbagai elemen sosial sebagai pengikat sekaligus pemelihara keteraturan sosial.
dan karena dengan metode fungsionalisme ini membantu sangat Sosiologi dalam
mempelajari masyarakat (lembaga masyarakat dan struktur-stuktur masyarakat).

IKLAN SUSU WRP

Michel             : aku mau minum susu nih, biar sehat ! tapi gue takut malah jadi gemuk ?

Yuli                  : emang kenapa kalo gemuk ?

Michel             : ga mau. Gue mau sehat tapi yang ga bikin gemuk !

Yuli                  : oh gue tau minum WRP aja.

Michel             : emang bener ?

Yuli                  : iya susu WRP kan low fat, Jadi gag ngadung lemak  g ikin gemuk eh !

Michel             : oh, gitu  oke gue coba. Makasih ya

SUSU WRP UDAH SEHAT GA BIKIN GEMUK LAGI ! 🙂

ILP

ILP

UNTUK TAHUN PELAJARAN  2010-2011 ILP  MENERIMA SISWA-SISWI BARU :

Middle School

  • 6th Grade

Complete informal interest survey

Identify career clusters and pathways

that are of most interest

  • 7th Grade

Complete Learning Styles Assessment

Identify jobs you would like to learn

more about

  • 8th Grade

Complete Career Interest Inventory

Research top three careers from

interest inventory

Begin Individual Learning Plan

Select most appropriate plan of study

Select high school course to achieve

ILP

Schedule Student and Parent

Educational/Career Conference

Complete Wisconsin Covenant

Agreement

Review Program of Study

High School

  • 9th Grade

Complete vocational aptitude assessment

Review ILP and Program of Study

Consider electives based upon career

Cluster and pathway

Update ILP & identify supporting

documentation needed for ILP

10th Grade

Complete graduation credit check to remain

on schedule

Register for PLAN/PSAT, etc.

Gather information about career options

Colleges and universities

Technical colleges

Military or  Work

Collect supporting documents for ILP

Update ILP & Review Program of Study

Schedule Student and Parent Educational/

Career Conference

  • 11th Grade

Complete graduation credit check

Review Program of Study – match pathway

and course sequencing

Begin/Revise  Resume

Collect information on scholarships and

financial aid

Register for ACT and/or SAT

Schedule college visits

Begin Supervised Work-Based Learning

  • 12th Grade

Update ILP

Complete graduation credit check

Register for ACT and/or SAT retakes

Obtain letters of recommendation

Complete information for supporting

documents in ILP

Complete applications

Postsecondary

Financial Aid

Prepare documents for transition

For More Information Contact:

Judith Kuse, DPI Consultant –

School Counseling Programs

608-266-2820

Judith.Kuse@dpi.wi.gov

Pamela Hilleshiem-Setz, CESA 5-

School To Work Director

608-742-8811 ext.230 / 273

hilleshiemp@cesa5.k12.wi.us

MAU PINTER BAHASA INGGRIS KAYA ORANG BULE ? KURSUS DI ILP AJA 🙂

RANGKUMAN

Selama seminggu ini hujan turun deras sekali. Hawa menjadi amat dingin, membuat ngantuk. Untuk cuaca seperti ini, kegiatan yang paling enak cuma satu: tidur seharian di kasur yang empuk.

Tapi, sayangnya tidak demikian bagi Diaz.

Hari ini ia pulang sore sekali. Di kampus ada dua ujian dan presentasi–yang hasilnya gagal, hingga ia terpaksa mengulang assignment-nya itu sampai dosennya mau nerima kembali. Semalaman ia hanya tidur dua jam demi belajar serta merampungkan semua tugasnya. Dan paginya ia bela-belain nyuci mobil dan nyemir ban, biar si Cielo silver keliatan kinclong waktu ke kampus. Apa boleh buat, dari jam 10 pagi sampai sore ini hujan turun tanpa ampun. Tinggal Diaz yang melengos lesu mendapati usahanya mempercantik mobil sia-sia belaka.

Ketika akan memasuki gerbang utama perumahannya, tiba-tiba Diaz merasa mobilnya meluncur ringan sampai akhirnya berhenti. Tak dinyana, si Cielo beneran mogok. Ia sempat tak mempercayai penglihatannya, tatkala melihat meteran penunjuk suhu mesinnya.

Overheating? Kok, bisa?

“What the f–!” Diaz menghambur keluar mobilnya penuh emosi.

Ia tidak peduli hujan yang mengguyur sekujur tubuhnya sampai basah kuyup dalam kejapan mata saja. Ingin rasanya ia menendang si Cielo yang berani-beraninya mengusik mood jeleknya sore ini.

WUSHHH!!!

Belum sempat Diaz membuka kap mobilnya, tiba-tiba ia terlonjak kaget melihat sebuah mobil yang tampak tidak terkendali melaju ke arahnya.

Mati gue!

Diaz yang terpaku hanya bisa memejamkan matanya ngeri. Setengah panik, setengah pasrah. Tidak menyangka hidupnya bakal sesingkat ini. Mobil itu sudah terlalu dekat dengannya…

Sedetik kemudian Diaz tidak merasakan apa-apa, selain rintik-rintik hujan. Tidak ada sakit dan nyeri di bagian badannya manapun. Ia sempat mengira ia sudah nyangkut di surga… atau di neraka? Tetapi pada saat yang bersamaan dengan kekalutannya itu, ia mendengar suara benturan yang cukup keras.

Ternyata mobil pink itu sudah nyangkut di trotoar. Bukan kecelakaan yang berarti, sih, tapi sayang bemper dan bagian bawah mobilnya. Cepat-cepat Diaz menghambur ke arah mobil Estillo pink itu, entah untuk mengecek keadaan atau mau ngamuk-ngamuk ama pengemudinya, gara-gara nyaris menjadikannya new comer di alam baka!

“Kamu nggak apa-apa?!! Maafkan saya. Saya–“

Sebelum Diaz sempat membuka pintunya, si pengemudi sudah menghambur keluar dari mobil ke arahnya. Kedua tangannya mencengkeram erat bagian depan t-shirt Diaz dengan wajah panik dan khawatir setengah mati.

Diaz bengong mendapati sosok yang menubruknya ini. Agak mungil, pake rok abu-abu selutut yang lumayan ketat, kemeja putih, cardigan warna pink, dan kaos kaki putih panjang. Rupanya hanya seorang anak SMA sialan!

“Maaf gimana?! Tadi kalo elo gak banting stir, nyawa gue udah melayang, tau?!! Bisa nyetir gak sih? SIM-nya nembak ya?! Dasar SMA!” bentak Diaz kepadanya. Padahal seingatnya, dulu waktu bikin SIM ia juga nembak kok–kemahalan lagi!

Cewek berseragam SMA ini tertunduk antara takut dan bingung menghadapi Diaz. Bukankah ia sudah minta maaf dan malahan sudah bela-belain banting stir ampe bagian bawah mobilnya penyok menghajar trotoar, biar nggak nabrak mobil cowok ini? Tapi kenapa dia masih emosi juga? Ia tidak tahu bagaimana membuat amarah cowok di hadapannya ini reda.

“Tadi mobilmu mogok ya? Tinggal di sini juga kan? Kuantar ke rumahmu dulu, ya, untuk ganti baju. Nanti kita betulin bareng,” tutur si SMA lagi. Suaranya begitu bening serta menyejukkan hati. Jadi gak enak hati Diaz dibuatnya, karena tadi ia sudah membentaknya sedemikian kasar.

“OK. Thanks…” Diaz menatapinya agak lama, sekalian curi-curi pandang meneliti makhluk mungil di hadapannya ini.

Lucu juga, kayak gulali yang sering dibelinya jaman masih TK dulu.

Yang diliatin malah menatapnya balik, lalu nyengir kuda, seperti tidak ambil pusing setelah mengalami kejadian yang cukup menakutkan itu. Sekarang gantian deh, Diaz yang salting dan kebingungan.

”Ngg… maafin gue, ya, tadi. Gue Diaz,” ucap Diaz kikuk sambil mengulurkan tangannya, seperti anak kecil yang ngajak baikan.

Si cewek SMA menyambutnya dengan jabatan yang hangat dan mantap. Sepertinya ia tipikal cewek yang ceria, easy-going, dan cukup percaya diri. Tipe cewek yang hidupnya selalu dibawa santai dan gak peduli ama masa depan. Lagi-lagi Diaz berusaha menghilangkan pikirannya yang macam-macam. Ah, anak SMA di mana-mana memang sok PD jeger!

“Aku Sisy. Maaf juga ya…” tatkala mereka berdua masih berjabat tangan, sebuah kata terucap ceria dari bibir mungil si SMA ini, ngebuat Diaz surprised.

Diaz memperhatikan si mungil yang berdiri basah kuyup sambil sesekali memeras bagian bawah seragamnya. Sisy? Oh, ini dia si little diva yang dihebohin melulu ama anak-anak beberapa hari belakangan ini. Cantik juga. Selera anak-anak kali ini boleh diacungin jempol, deh. Lumayan…

“Mobil elo gak apa-apa basah-basah begini?” Diaz bertanya ragu ketika baru membuka pintu Estillo pink itu.

“Nggak pa-pa,” Sisy masuk duluan, lalu mematikan AC-nya demi mereka berdua yang kepalang basah tidak sekalian masuk angin.

Di mobilnya Sisy, Diaz tidak berucap apapun. Apalagi Sisy sendiri nampak tidak berminat untuk mengobrol. Tapi, ia malah merasa malu banget di tengah keheningan yang membeku antara mereka berdua itu, apalagi saat mengingat-ingat kejadian barusan. Kok, bisa-bisanya ya ia seemosional itu pada Sisy?

Bener-bener awal yang bagus buat kenalan! pikir Diaz menyesal.

Harusnya ia bisa lebih menahan diri, mengendalikan emosinya untuk tidak mengumbar marah seperti yang tadi ia lakukan. Childish sekali. Toh, dirinya gak tertimpa kecelakaan sama sekali, kan? Kalau udah begini, pasti susah memulai pertemanan berikutnya. Padahal mereka, kan, tetangga sebelahan.

“Ngg, Diaz?” ucap Sisy pelan, sambil menoleh ragu ke arah cowok ini.

“Hei! Jangan nengok-nengok dulu, ntar mobil elo nyangkut lagi lho,” seru Diaz risih. “Duh! Kalau bisa gue yang nyetir, mending gantian deh. Sayangnya kalau pake Estillo, kaki gue pasti mentok. Sori!”

“E-eh?” Sisy menatap cowok ini tidak percaya. Walaupun terlihat dingin dan ketus, tapi sebenarnya ia baik. Perpaduan sifat yang ada pada cowok ini amat unik. Sisy dapat merasakannya.

“Kenapa ngeliatinnya kayak begitu sih?” kata Diaz lagi, ketika mendapati sepasang mata jernih itu seperti tengah menelanjanginya. “Elo kayaknya belon mahir nyetir ya? Kok bawa mobil segala sih? Buat gegayaan di sekolah? Malu ama temen-temen kalau nggak bawa mobil? Atau memang kebelet pengen nyetir karena udah SMA?”

Sisy menghela napas panjang. Ini pertanyaan, pernyataan, atau sindiran sih?

Cowok ini bener-bener galak dan tidak simpatik. Saat berbicara, seakan-akan ia ingin memarahi Sisy sepuas-puasnya sampai Sisy tidak dapat kesempatan untuk menjawabnya sedikit pun.

“Ngg…” Sisy bergumam pelan,”Mungkin… malu karena nggak bisa nyetir.” Ia sudah siap-siap mendengar bentakan cowok ini selanjutnya.

Sisy menyesali nasibnya hari ini. Andai saja tadi ia tidak melakukan kebodohan dengan hampir menabrak Diaz, tentunya ia nggak akan merasa bersalah. Dan buntut-buntutnya, sih, ia nggak akan bela-belain nemenin cowok aneh kayak begini.

Tapi yang Sisy dengar selanjutnya dari orang ini malah diluar dugaannya.

“Tidak apa-apa,” ucap Diaz, mengurai keruwetan di hati Sisy. “Tidak apa-apa kok, untuk nunjukin kelemahan kita.”

“Kamu…” Sisy ingin bertanya sesuatu, tetapi tidak satu pun kata-kata terangkai di bibirnya.

Diaz menoleh ke Sisy dan menatapnya lembut. Sangat lembut dan bertolak belakang dengan raut wajah yang sejak tadi Sisy perhatikan.

“Gue juga kadang-kadang begitu,” ucap Diaz lagi, lebih rileks. “Gue punya sepupu-sepupu yang menakjubkan. Berdiri di sebelah mereka ngebuat gue merasa bukan apa-apa, sehingga gue berusaha keras untuk menjadi sesuatu. Tapi… kadang-kadang gue lelah, dan ingin seperti ini saja.”

Bagi Sisy, cara Diaz mengucapkan kata ‘lelah’ sepertinya ia benar-benar lelah menjalani hidup, membuat Sisy takut sekaligus ingin tahu seperti apa kehidupan hari-harinya. Siapa gerangan orang ini… dengan paras bangsawan namun tatapan matanya begitu sendu?

Nama : Michelia Champaca

Kelas   : 1 SA 01

NPM    : 14609579

RESENSI NOVEL

 

JUDUL NOVEL             : Lukisan Hujan

PENGARANG               : Sitta Karina

PENERBIT                    : Terrant Books

TAHUN                                    : 2004

GENRE                         : Novel Remaja

HALAMAN                   : 388 halaman

ISBN                             : 979-3750-00-6

 

Sinopsis Novel :

Bercerita tentang Diaz Hanafiah –keturunan Hanafiah Group yang kaya raya, terkenal dan bagian dari socialite Jakarta. Namun,  karena kesederhanaannya dia jadi sering diolok-olok karena tidak se-elite dan se-glamour sepupu-sepupunya.

Dimulai dari kedatangan tetangga baru seorang cewek bernama Sissy yang langsung menggemparkan teman-temannya di komplek Bintaro Lakeside. Diaz yang penasaran akhirnya malah berkenalan di suatu situasi kurang menyenangkan, tapi justru setelah itu keduanya malah menjadi akrab.

Sissy yang mungil, cantik, dan masih remaja, seperti warna baru dalam hidup Diaz yang semula datar dan monoton. Hubungan abang-adik pun diikrarkan yang sempat membuat Igo sahabat Diaz menjadi cemburu. Diaz yang introvert, dingin dan kaku melebur menjadi kehidupan warna-warni yang indah dengan kehadiran Sissy yang lembut, hangat dan dinamis itu. Mereka bertemu di tengah hujan dan akhirnya menjadi dekat seperti layaknya kaka dan adik.

Tanpa disangka hubungan abang-adik pun berubah menjadi hubungan lawan jenis yang lazim. Sampai kedatangan Anggia–cinta Diaz di masa lalu– yang membuat hubungan keduanya menjadi merenggang.

Namun cinta diaz yang telah terbiasa bersama sissy membuat Diaz lebih memilih bersama sissy walaupun sissy merasa tidak enak dengan anggia.

Cerita ini berakhir bahagia dengan cinta diaz yang besar terhadap sissy.

 

Kelebihan :

  • Novel ini adalah novel yang memiliki imajinasi tinggi, lucu, dan menarik .
  • Novel ini membuat pembaca berimajinasi lewat ceritanya yang sangat detail.
  • Semuanya membuat  kita menghayal bebas.

 

Kekurangan :

  • Bahasanya yang remaja sekali
  • Alur ceritanya yang terkadang maju mundur yang membuat kita harus fokus saat membaca

ASAL USUL KAUM SALAFI

Salafisme adalah suatu keyakinan yang didirikan pada akhir abad ke-19 oleh para reformis muslim seperti Muhammad Abduh (w. 1323 H./1905 M.), Jamal al-Din al-Afghani (w. 1314 H./1897 M.), Muhammad Rasyid Ridha (w. 1354 H/ 1935 M.), Muhammad al-Syawkani (w. 1250 H./1834 M.) dan Jalal al-Shan’ani (w. 1225 H./1810 M.). Sejumlah orang bahkan meniabahkan asal-usul keyakinan Salafisme ini kepada Ibn Thaymiyyah (w 728 H./1328 M.) dan muridnya yang bernama Ibn Qayyim al-Jawziyyah (w. 751 H/1350 M.). Istilah salaf berarti pendahulu, dan dalam konteks Islam, pendahulu itu merujuk pada periode Nabi, para Sahabat, dan tabiin. Selain itu, istilah salaf (seseorang yang mengikuti kaum salafi punya makna fleksibel dan lentur serta memiliki daya tarik natural, sebab ia melambangkan autentisitas dan keabsahan. Sebagai istilah, salaf dimanfaatkan oleh setiap gerakan yang ingin mengklaim bahwa gerakan itu berakar pada autentisitas Islam. Walaupun istilah itu pada awalnya dipakai oleh kaum reformis liberal, pada awal abad ke-20, kaum Wahhabi menyebut diri mereka kaum Salafi. Akan tetapi, hingga tahun 1970-an, istilah itu tidak terkait dengan keyakinan Wahhabi.

 

Salafisme menyeru untuk kembali pada konsep yang sangat dasar dan fundamental di dalam Islam-bahwa umat Islam seharusnya mengikuti preseden-preseden Nabi dan para Sahabatnya yang mendapatkan petunjuk (al-salaf al-sholih) dan juga generasi awal yang saleh. Secara metodologis dan ditinjau dari substansinya, Salafisme nyaris identik dengan Wahhabisme, kecuali bahwa Wahhabi jauh kurang toleran terhadap keragaman dan perbedaan pendapat. Dalam banyak hal, Salafisme sebenarnya tak bisa ditolah sebagian karena janji epistemologisnya: Salafisme menawarkan satu pandangan-dunia yang sulit ditolak atau ditentang. Para pendiri Salafisme menegaskan bahwa dalam menghadapi semua persoalan, umat Islam seharusnya kembali pada sumber tekstual asli yaitu Alquran dan Sunah (preseden) Nabi. Dalam melakukannya, umat Islam harus menginterpretasikan sumber-sumber asli itu berdasarkan kebutuhan dan tuntutan modern tanpa harus terikat mutlak pada produk penafsiran generasi muslim awal. Namun, seperti awalnya dipahami, Salafisme tidak serta-merta antiintelektual, tetapi sebagaimana Wahhabisme, ia cenderung tidak tertarik pada sejarah. Dengan menekankan asumsi “zaman keemasan” di dalam islarn, para pengikut salafisme mengidealisasi zaman Nabi dan Sahabatnya, dan menolak atau tidak tertarik pada warisan sejarah Islam yang lebih besar.

Lebih jauh lagi, dengan menampik preseden hukum dan merendahkan tradisi sebagai satu sumber keberwenangan, Salafisme mengadopsi satu bentuk egalitarianisme yang mendekonstruksi gagasan-gagasan tradisional tentang otoritas yang telah mapan di dalam Islam. Dalam pandangan Salafisme, setiap orang dinilai memenuhi kualifikasi untuk kembali pada sumber asli Islam dan berbicara atas nama Tuhan. Logika dan asumsi Salafisme sendiri adalah bahwa setiap orang awam itu dapat membaca Alquran dan kitab-kitab yang memuat hadis Nabi dan para Sahabat dan kemudian membuat penilaian hukum. Ekstremnya, ini berarti bahwa setiap individu muslim dapat membuat versinya sendiri mengenai hukum Islam.

Salafi (mula-nya) berbeda dengan Wahhabi

Sebenarnya, dengan membebaskan kaum muslim dari muatan tradisi para ahli hukum yang rumit dan canggih, Salafisme memberi kontribusi bagi vakumnya otoritas di dalam Islam kontemporer. Akan tetapi, tidak seperti Wahhabisme, Salafisme tidak secara aktif memusuhi tradisi hukum atau praktik beragam mazhab pemikiran yang saling bersaing. Seakan-akan Salafisme memandang tradisi hukum lebih bersifat opsional dan bukannya harus dibuang. Selain itu, berbeda dengan Wahhabisme, Salafisme tidak membenci mistisisme atau sufisme. Banyak pendukung Salafisme berkeinginan kuat untuk membuang belenggu tradisi dan terlibat dalam memikirkan solusi Islam dari sudut tuntutan modern. Sejauh menyangkut tradisi hukum, kebanyakan para ilmuwan Salafi adalah orang yang suka memadukan sejumlah pendapat; mereka cenderung terlibat dalam praktik yang dikenal dengan istilah talfiq; mereka memadukan beragam opini dari masa lalu demi memunculkan pendekatan baru terhadap problem-problem yang muncul.

Satu dimensi penting pada Salafisme adalah bahwa sebagian besar ia didirikan oleh kaum nasionalis muslim yang sangat ingin menafsirkan nilai-nilai modernisme ke dalam sumber-sumber orisinal Islam. Oleh karena itu, Salafisme tidak serta merta anti-Barat. Sebenarnya; para pendiri Salafisme berupaya keras untuk mengungkapkan keserupaan antara teks-teks mendasar Islam dan pranata-pranata kontemporer seperti demokrasi, konstitusionalisme. atau sosialisme. dan berusaha keras untuk menjustifikasi paradigma negara-bangsa modern di dalam Islam. Dalam pengertian ini, Salafisme, seperti dipahami pada awalnya, memperlihatkan satu tingkat oportunisme. Para pendukungnya cenderung lebih tertarik pada hasil akhir ketimbang memelihara integritas atau koherensi metode hukum. Salafisme ditandai dengan keinginan yang kuat untuk menggapai hasil yang akan membawa Islam selaras dengan modernitas, bukan hasrat untuk secara kritis memahami modernitas maupun tradisi Islam itu sendiri. Misalnya, orang-orang Salafi abad ke-19 dan awal abad ke-20 sangat menekankan keunggulan konsep mashlahah (kepentingan publik) dalam pembentukan hukum Islam. Karena itu, secara konsisten ditekankan bahwa apa pun yang akan memenuhi kepentingan publik seharusnya dipandang sebagai bagian dari hukum Islam.61

61. Tentang proses ini dan tentang talfiq dan mashlahah digunakan dalam Islam modern, lihat Noel Coulson, A History of Islamic Law (Skoiandia: Edinburgh University Press, 1994), h- 197- 217. Lihat juga Ridha, al-Manar, edisi 17, h.372 – 384.

Berubah menjadi kekuatan politik

Akan tetapi, ini menunjukkan sebuah masalah yang menghadang pemikiran Salafi sepanjang abad ke-20: oportunisme politiknya. Salafisme, yang awalnya menjanjikan sebentuk kebangkitan-kembali yang liberal di dunia Islam, senantiasa mengompromikan prinsip-prinsip keagamaan dan etika dengn dinamika kekuasaan dan keuntungan politik. Dihadapkan pada tantangan nasionalisme, kaum Salafi-sering mengedepankan logika kepentingan publik-secara konsisten mengubah Islam menjadi kekuatan yang secara politis reaktif, yang terlibat dalam suatu perjuangan duniawi untuk menegaskan identitas dan determinasi-dirinya. Akibatnya, Salafisme menjadi kekuatan moral yang cair dan tak berprinsip, dan terus-menerus merestrukturisasi dan mendefinisikan kembali dirinya untuk menanggapi dinamika kekuasaan yang senantiasa berubah.

Akhirnya, tak seorang pun dapat sepenuhnya yakin tentang prinsip etika dan moral yang direpresentasikan Salafisme, kecuali sebentuk fungsionalisme vulgar yang selalu bergeser ketika merespons tuntutan politik saat itu. Pada pertengahan abad ke-20, menjadi jelas bahwa Salafisme berubah menjadi pemikiran apologetis yang statis dan tak berkembang. Pemikiran apologetis merupakan suatu usaha membela Islam dan tradisinya di hadapan serangan gencar Westernisasi dan modernitas dengan secara simultan menegaskan kesesuaian dan supremasi Islam. Pandangan apologetis merespons tantangan intelektual era modern dengan mengambil fiksi mengenai asumsi kesempurnaan Islam, dengan menjauhkan diri dari evaluasi kritis atas doktrin Islam. Upaya yang lazim dilakukan kaum apologis adalah dengan menyatakan bahwa setiap institusi modern yang bernilai baik, dipuji, dan bermanfaat, pertama kali ditemukan dan diwujudkan oleh umat Islam. Oleh karena itu, menurut para apologis, Islam membebaskan kaum perempuan, menciptakan demokrasi, mendorong pluralisme, dan melindungi hak asasi manusia, jauh sebelum institusi ini ada di Barat.62

62. Untuk penilaian kritis dan bernada menyesalkan oleh seorang intelekual muslim mengenai dampak apologetis terhadap budaya muslim, lihat Tariq Ramadan, Islam, the West and the Challenges of Modernity, penerjemah: Said Amghar (Markfield, UK: Islamic Foundation, 2001), h. 286 – 290. Untuk analisis mencerahkan mengenai peran apologetis dalam Islam modern, lihat Wilfred Cantwell Smith, Islam in Modern History (Princeton: Princeton University Press, 1977).

Meskipun begitu, mereka menyatakan hal itu tanpa mencermati tradisi Islam secara mendalam, atau bahkan bukan atas dasar komitmen ideologis yang sungguh-sungguh atau pemahaman mengenai implikasi ide-ide dan institusi tersebut. Sebaliknya, isu-isu ini ditegaskan lebih sebagai sarana untuk mengafirmasi bahwa mereka memiliki hal-hal yang berharga dan untuk memperkuat rasa percaya diri mereka. Kaum apologis memang hanya mengangkat isu autentisitas Islam dalam hubunpnnya dengan isu semisal demokrasi, hak asasi manusia, dan hak-hak perempuan, namun tanpa keterlibatan yang lebih serius dengan persoalan-persoalan itu. Menurut pemikiran apologetis semacam itu, apa yang perlu dilakukan oleh semua kalangan masyarakat agar dapat sepenuhnya mengambil manfaat dari demokrasi, hak asasi manusia, pembangunan ekonomi, atau hak-hak perempuan adalah memberikan ruang ekspresi penuh pada Islam yang nyata dan sejati. Akan tetapi, apa yang terkandung dari pernyataan-pernyataan mereka ini adalah rasa percaya diri yang artifisial dan kelesuan intelektual ketika mereka tidak menyikapi tradisi Islam maupun tantangan modern secara sangat serius.63 Oportunisme pendekatan-pendekatan Salafi yang mulai muncul ini, yang sangat tampak dalam literatur apologetis mereka, telah memburuk menjadi sebentuk kecerobohan dan kebingungan intelektual yang nyaris menghancurkan setiap upaya ke arah analisis yang sistematis dan ketat. Pada 1960-an, liberalisme optimistik yang sebelumnya dapat kita lihat pada kecenderungan awal mereka telah mulai lenyap, dan apa yang masih tertinggal dari potensi liberal ini sebagian besar telah berubah menjelma sikap apologetis.

63. Untuk contoh mengenai literatur apologetis ini, lihat Muhammad Qutb, Islam: The Misunderstood Religion (Chicago: Kazi Publications, 1980). untuk diskusi yang bernilai mengenai pemikiran apologetis Islam dan dampaknya, lihat Smith, Islam in Modern History.

Masuknya Pengaruh Wahhabisme

Sementara itu, lewat proses sosial-politik yang kompleks, Wahhabisme sanggup melepaskan dirinya dari sejumlah bentuk ekstrem sikap intoleran, dan mulai menggunakan bahasa dan simbol-simbol Salafisme pada tahun 1970-an hingga keduanya secara praktis menjadi tak terbedakan. Baik Wahhabisme maupun Salafisme membayangkan adanya sebuah zaman keemasan di dalam Islam; imajinasi ini menuntut sebuah keyakinan akan adanya sebuah utopia historis yang menyerupai zaman keemasan tersebut, yang mereka pikir sepenuhnya dapat dicipta dan diproduksi kembali di dalam konteks Islam kontemporer Keduanya tetap tidak tertarik pada penyelidikan sejarah secara kritis dan menanggapi tantangan modernitas dengan melarikan diri ke rumah perlindungan teks yang aman. Keduanya mendorong sebentuk egalitarianisme dan antielitisme, hingga mereka berpandangan bahwa intelektualisme dan wawasan moral rasional sebagai sesuatu yang tak bisa dijangkau, dan karena iyu keduanya identik dengan perusakan terhadap kemurnian pesan Islam. Yang menarik, pendirian ini sebenarnya sama dengan sikap yang menempatkan segala bentuk khazanah yang secara intelektual bersifat kompleks dan menantang sebagai sesuatu yang- entah bagaimana-bertentangan dengan Islam. Sikap semacam ini terlihat begitu ganjil, jika dicermati bagaimana peradaban Islam itu sendiri telah menghasilkan satu tradisi filsafat Islam yang sangat kaya.

Abu al-A’la al-Mawdudi

Kesamaan inilah yang mempertemukan Wahhabisme dan Salafisme. Sejak periode awal wahhabisme dan setelah Salafisme masuk ke fase apologetisnya, keduanya sama-sama dirundung oleh sejenis pemikiran yang memandang diri mereka sebagai kelompok yang superior dan lebih unggul; pemikiran semacam ini terus bertahan hingga kini. Karya-karya yang lahir dari kaum Salafi generasi awal seperti Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, misalnya, yang memperlihatkan tingkat kecanggihan intelektual mereka, menjadi jarang ditemukan. Teks-teks yang ditulis oleh kaum salafi kemudian menjadi tidak bisa dibedakan dari tulisan kaum wahhabi. Perpaduan Salafisme dan wahhabisme inilah, yang mulai terjalin pada 1970-an, yang membentuk teologi gerakan puritan saat ini.64

64. Oliver Roy, Globalized Islam: The Search for A New Ummah (New York: Columbia University press, 2004), h. 232-257. Penulis buku ini juga mencermati titik temu antara Salafisme dan Wahhabisme.

Pendekatan puritan terwakili dengan baik dalam tulisan orang seperti Abu al-A’la al-Mawdudi (w. 1979 M) dan Sayyid Quthb, yang dieksekusi pada 1966, yang pada tingkat berbeda sekaligus dapat disebut sebagai kaum Salafi dan wahhabi. Mawdudi adalah pemikir Islam berpengaruh yang menulis lebih dari dua puluh buku dan berpengaruh luas pada kaum muslim Indo-Pakistan dan juga Arab. Mengikuti Abd al- wahhab, Mawdudi percaya bahwa semua masyarakat muslim telah kembali ke kondisi pra-Islam, ketika kegelapan dan kebodohan merajalela (disebut zaman jahiliyyah). Seperti Abd al-wahhab, Mawdudi yakin bahwa umat Islam telah kehilangan iman mereka yang sejati dan banyak dari keyakinan dan tindakan mereka yang memperlihatkan tidak adanya pemahaman yang benar mengenai tawhid (monoteisme). Sebagaimana Abd al-Wahhab, Mawdudi percaya pada pemisahan kaum perempuan, dan menekankan ortoproksi atau praktik ritual yang benar sebagai bukti nyata dari keimanan mereka. Akan tetapi, Mawdudi tidak bergerak terlampau jauh hingga menyatakan bahwa semua muslim berstatus murtad, dan, atas dasar itu, menumpahkan darah mereka. Mawdudi tidak menempuh jalan kekerasan selama hidupnya, namun ia memimpin sebuah gerakan akar rumput yang besar di Pakistan yang bertujuan menghimpun dukungan masyarakat luas untuk selanjutnya menggulingkan pemerintah dan merebut kekuasaan. Pada prinsipnya Mawdudi tidak berkeberatan menggunakan kekerasan, namun ia percaya bahwa penggunaan kekerasan secara prematur akan membuat kelompok Islam tertekan dan mengalami kekalahan.

Cukup masuk akal kiranya untuk mengatakan bahwa perbedaan antara Mawdudi dan Abd al-Wahhab adalah perbedaan dalam kondisi atau lingkungan. Permusuhan antarsuku, lemahnya negara di Semenanjung Arab, dan dukungan Inggris yang ditujukan untuk memperlemah Dinasti ‘Utsmani adalah faktor-faktor yang membantu Abd al-Wahhab untuk menggunakan kekerasaan sebagai peranti utama dalam menyebarkan ajarannya. Mawdudi mengedepankan ide jihad yang ditunda-ide bahwa muslim sejati seharusnya tidak menggunakan kekerasan sepanjang konstelasi perimbangan kekuasaan yang ada tak dapat mengantarkan kaum muslim untuk meraih kemenangan; namun bila perimbangan kekuasan berubah, terpaksa kekerasaan menjadi dibenarkan. Dalam hal yang paling signifikan, Mawdudi cukup sama dengan Abd al-Wahhab-keduanya punya impian membangun masyarakat alternatif yang maju dan baru yang benar-benar islami, dan tidak sama dengan masyarakat yeng ada ketika itu. Menurut kedua aktivis ini, masyarakat alternatif yang sangat didambakan ini adalah sebuah negara utopia yang dibayangkan yang lurus merujuk pada rnodel ncgara Madinah di zarnan Nabi. Akhirnya, Mawdudi dan banyak pengikutnya, dernikian juga kaum Wahhabi, sama-sama memiliki keyakinan terhadap negara teokratis diktator yang memaksa orang bertindak sesuai dengan versi puritan tentang hukum Islam. Akan tetapi, dalam pemikiran Mawdudi kita jelas-jelas dapat menemukan jejak pengaruh pemikiran Barat, ketika ia menegaskan bahwa negara Islam adalah sebuah teo-demokrasi-kombinasi antara teokrasi dan demokrasi. Ini tak lebih dari sekadar retorika apologetis yang diarahkan untuk membela para pengikutnya di hadapan tuduhan bahwa mereka adalah aktivis yang bekerja mengusung Pakistan ke dalam bentuk negara diktator-religius.

Sayyid Quthb

Sayyid Quthb kerap disebut sebagai pendiri semua gerakan militan; namun tuduhan ini tidak sepenuhnya akurat. Quthb dijatuhi hukuman mati oleh rezim Nasser di Mesir lantaran ide-idenya, bukan karena tindakan kekerasan yang dilakukannya. Namun, karena dia dieksekusi lantaran ide-idenya, orang yang tidak sependapat dengan pemikirannya pun bahkan juga mengrngatnya sebagai martir. Tidak mengejutkan’ statusnya sebagai seorang syahid membuat sosoknya terus dikenang dalam ingatan kaum muslim hingga sekarang.

Selain itu, Quthb sebenarnya adalah sosok figur yang rumit karena dalam sebagian besar hidupnya ia adalah seorang muslim moderat dan, karena itu, ia telah meninggalkan warisan karya- karya kajian yang berpengaruh mengenai Alquran dan kritik teks. Quthb sangat terpelajar dan luas bacaannya, akrab dengan tulisan-tulisan Mawdudi dan Abd al-Wahhab dan juga tulisan beberapa filsuf Barat. Akan tetapi, ia tidak terseret ke dalam pemikiran Mawdudi atau Abd al-Wahhab sampai ia ditangkap dan disiksa habis-habisan oleh rezim Nasser. Pengalaman inilah yang terbukti sangat mengubah kecenderungan pemikiran Quthb. Quthb kemudian menjadi seorang ekstremis, dan ia menulis risalah bertajuk Ma’alim fi al-Thariq, yeng menjadi karyanya yang berpengaruh dan masyhur. Sebagai seorang ekstremis, sosok Quthb benar-benar memperlihatkan pengaruh dan kontradiksi simultan dari Islam puritan, yang tak lain adalah Salafisme, Wahhabisme, dan pemikiran Barat. Dalam Ma’alim, ia coba menawarkan satu deskripsi mengenai masyarakat Islam yang murni dan iman Islam sejati. Namun, dalam kenyataannya, buku Quthb tak lebih dari sekadar upaya penambahan lapisan islami pada konstruksi ideologis yang sangat fasis.

Quthb adalah anggota organisasi Ikhwanul Muslimin di Mesir dan menegaskan bahwa seperti Hasan al-Banna (terbunuh pada 1949), pendiri gerakan itu, ia adalah orang Salafi. Akan tetapi, seperti Abd al-Wahhab, Quthb membagi masyarakat ke dalam dua kategori: masyarakat yang betul-betul beriman, dan masyarakat yang hidup di zarnan jahiliyyah (kebodohan dan kegelapan, merujuk pada periode pra-Islam). Dalam penglihatannya, semua muslim wajib berhijrah ke tanah Islam sejati; mereka yang tidak melakukannya dipandang berstatus murtad dan kafir. Quthb menegaskan bahwa Alquran adalah konstitusi bagi tiap muslim sejati, dan ia juga mengklaim bahwa kedaulatan semata-mata ada di tangan Tuhan. Ini berarti bahwa di dalam masyarakat Islam tulen, Tuhanlah satu-satunya pembuat hukum, dan keadilan sempurna dapat dicapai jika penguasa sungguh-sungguh mengimplementasikan perintah Tuhan. Semua urusan dalam lingkup wilayah Islam sejati harus diatur berdasarkan hukum Islam. Tidaklah mengherankan jika Quthb maupun Mawdudi sama-sama tidak terdidik sebagai ahli hukum, dan pengetahuan mereka tentang tradisi yurisprudensi Islam sangat minim. Meskipun demikian, seperti Abd al-Wahhab, Mawdudi dan Quthb membayangkan hukum Islam sebagai suatu himpunan perintah yang gamblang, tidak fleksibel, dan kaku, yang meliputi dan mengatur setiap aspek kehidupan. Quthb membayangkan hukum Islam sebagai panasea-implementasinya berarti bahwa keadilan Tuhan diterapkan dan keadilan Tuhan itu sempurna.

Quthb menegaskan bahwa manakala wilayah Islam sejati dibangun, semua muslim harus segera berhijrah dan bermukim di sana. Akan tetapi, jika, tanah atau wilayah itu tidak ada, Quthb berpendapat bahwa mukmin sejati harus mengurung diri rnereka (i’tizal) dari masyarakat yang lain, yakni muslim yang hanya dalam namanya saja, tetapi dalam kenyataannya berlaku bidah dan melanggar ketentuan Islam yang benar. Muslim sejati harus meninggalkan dan mengisolasi mereka dari masyarakat sehingga mereka tidak akan terkontaminasi oleh kondisi jahiliyyah yang mengejala di masyarakat. Namun, sesudah meninggalkan dan membentuk komunitas mereka sendiri, umat Islam wajib mencurahkan setiap upayanya untuk mendirikan negara Islam sejati. Jelas, keinginan Quthb untuk menyatakan kaum muslim berstatus murtad mengingatkan kita pada retorika Abd al-Wahhab mengenai keyakinan yang benar dan kemurtadan. Seperti Abd al-Wahhab, Quthb mengutuk mayoritas umat Islam sebagai orang yang berstatus munafik dan pelaku bidah. Intinya, baik Abd al-Wahhab maupun Quthb meyakini gagasan komunitas yang benar-benar selamat (al-firqah al-najiyah) yang berperang melawan kaum muslim lain untuk mendirikan negara Islam sejati dan menegakkan hukum Tuhan. Akan tetapi, Quthb memberikan pandangan yang lebih detail mengenai negara Islam idealistik dan utopis. Dalam hal ini, Quthb, seperti Abd al-Wahhab, terpengaruh oleh para pemikir Barat, khususnya filsuf fasis Jerman Carl Schmidt. Walaupun Quthb tidak sekali pun menyebut Schmidt dalam karya-karyanya, pembacaan yang cermat atas Ma’alim fi al-Thariq memperlihatkan bahwa banyak ide-ide, konstruksi, dan frasa Quthb yang sangat jelas diadaptasi dari karya-karya Schmidt.65

65. Pengaruh teori fasis terhadap Quthb sudah diteliti oleh penulis lain. Lihat Roxanne L. Euben, Enemy in the Mirror: Islamic Fundamentalism and the Limits of Modern Rationalism (Princeton: Princeton University press, 1999) , h. l99, catatan nomor 181; Aziz N-Azmeh, Islam and Modernities (London: Verso press, 1996), h. 77-101. Tentang Quthb, lihat Ahmad S. Mousalli, Radical Islamic Fundamentalism: The Ideological and Political Discourse of sayyid Qutb (Lebanon: American lJniversity of Beirut, 1992).

Hasan al-Hudaybi

Sebagai pertanda yang benar tentang pergeseran nasib Islam Salafi, ketika Quthb menulis Ma’alim-nya, pimpinan Ikhwinul Muslimin, Hasan al-Hudaybi, yang menyatakan dirinya sebagai seorang Salafi, menulis sebuah buku yang menyangkal klaim-klaim Quthb. Al-Hudaybi mengkritisi pemikiran Abd al- Wahhab dan Mawdudi dan dengan keras memprotes praktik takfir (tindakan menuduh seorang muslim berstatus murtad dan pelaku bidah). Al-Hudaybi berpendapat bahwa praktik ini tidak sejalan dengan tradisi toleransi di dalam Islam. Al- Hudaybi juga menentang gagasan yang menyatakan bahwa masyarakat muslim secara keseluruhan telah surut ke belakang berada dalam cengkeraman era kegelapan dan kebodohan (Jahiliyyah). Masyarakat muslim, menurut al-Hudaybi, mungkin memang telah terlalu ter-baratkan, atau mereka mungkin telah meninggalkan nilai-nilai Islam, namun ini tidak berarti masyarakat ini tak lagi berstatus muslim. Jawaban atas semua persoalan yang dihadapi umat Islam kemudian adalah mendorong, meyakinkan, dan mengupayakan reformasi secara bertahap, dan tidak melakukan kekerasan atau memaksakan perubahan. Dalam keadaan apa pun, beranggapan bahwa semua muslim layak dibunuh atau memandang diri seseorang berada dalam kondisi perang dengan masyarakat pada umumnya, seperti telah dilakukan kaum Wahhabi, adalah sebentuk kesalahan yang fatal. Penting dicatat, al-Hudaybi berpendapat bahwa kedaulatan politik seharusnya dipegang oleh manusia, dan karena itu sistem pemerintahan teokratis tidak selaras dengan teologi, sejarah, dan moralitas Islam. Al-Hudaybi sangat kritis terhadap ide kedaulatan Tuhan, dan menyatakan bahwa ide itu terlihat asing bagi Islam dan telah dipakai untuk tujuan-tujuan yang keliru. Ia menegaskan bahwa konsep negara uropis, yang di dalamnya digambarkan bahwa Tuhan sendiri yang memegang kedaulatan, secara faktual mustahil dan secara politik naif Al- Hudaybi adalah seorang hakim dan ahli hukum, dan tentunya, dalam bukunya ia menunjukkan tingkat kompetensi dan pengetahuan tentang hukum Islam yang lebih baik. Konsekuensinya, ia tidak berpandangan bahwa penerapan hukum lslam adalah panasea bagi persoalan apapun yang mungkin dihadapi umat Islam. Hukum Islam tidak bisa diterapkan tanpa kali pertama mengembangkan aparatus institusional dan lingkungan sosial yang tepat.

Sungguh sangat penting untuk diketahui bahwa sementara kebanyakan kaum muslim minimal sudah pernah mendengar tentang buku Ma’alim fi al-Thariq, dan bahwa buku karya Quthb itu mudah didapat, hal serupa tak terjadi pada buku al-Hudaybi. Sedikit sekali orang yang pernah mendengarnya, dan buku itu lama tak dicetak ulang dan sulit dicari.66 Sedihnya lagi, buku al-Hudaybi yang bercorak liberal itu ditulis setelah fase liberal Salafisme lama berlalu. Buku itu tidak lagi merepresentasikan pemikiran Salafi; buku itu hanya menggambarkan pemikiran seorang al-Hudaybi belaka.67 Kini, orang-orang Salafi dengan amat meyakinkan menampik pemikiran al- Hudaybi sebagaimana mereka menolak pemikiran Salafi liberal yang lahir pada awal abad ke-20.

66. Buku Hasan al-Hudaybi berjudul Du’a la Quda [Nasihat Bukan Penilaian] (Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, 1965).
67. Nasib serupa juga dialami karya tokoh liberal Salafi, Hasan Asymawi, Qalb Akhar min Agl al-Za’im [Hati Lain dari Pemimpin], yang dipublikasikan pada 1970 tetapi sebagian besar diabaikan.

Menyatu-nya antara Wahhabi dan Salafi

Pada 1970-an, perpaduan kaum Wahhabi-Salafi direpresentasikan oleh pemikiran tokoh puritan baru seperti Salih Saraya (dieksekusi pada 1975), Syukri Mushthafa (dieksekusi pada 1978), dan Muhammad Abd al-Salim Faraj (dieksekusi pada 1982). Ketiganya membentuk organisasi militan dan dieksekusi karena melakukan tindakan teroris di Mesir. Dari ketiganya, Faraj-lah yang terutama berpengaruh lantaran risalah terkenalnya yang berjudul al-Faridlah al-Ghaybah (Kewajiban yang Terabaikan).68

68. Lihat Johannes Jansen, The Neglected Duty: Thr Creed of Sadat’s Assassins and Islamic Resurgence in the Middle East (New york: Macmillan, 1986).

Di samping itu, Faraj adalah ideolog utama di balik pembunuhan Presiden Anwar Sadat pada 1981. Risalah Faraj menyerukan digelarnya operasi militer terus-menerus terhadap penguasa seluruh negara muslim yang melakukan bidah. Akan tetapi, lebih jauh lagi, dalam pandangan Faraj, tak hanya penguasa yang layak dikucilkan dan diperangi karena berstatus kafir, melainkan semua muslim harus diperlakukan seakan-akan mereka itu nyaris berstatus murtad.

Faraj dan para pendahulunya, Saraya dan Syukri, telah menerima pandangan Abd al-Wahhab dan Quthb bahwa masyarakat muslim sedang tersesat dan menyimpang, dan memimpikan masyarakat alternatif untuk dapat menerapkan Islam sejati. Ketiga aktivis ini sangat terasing dari masyarakat muslim saat itu dan tak mau terikat secara moral dengan bersahabat dengan kaum muslim.69 Oleh karena itu, dalam penglihatan mereka, sebuah negara seperti Mesir dipandang sama tak Islamnya dengan Israel – dalam pandangan mereka, Mesir dan Israel sama-sama negara non-Islam.70 Walaupun tiga aktifis ini menerima pandangan-dunia Quthb, dan bahkan menerima gagasan untuk menarik diri dari masyarakat kafir, mereka menolak ide aksi militer yang ditangguhkan. Sebaliknya, mereka merasa bahwa model pemikiran Abd al-Wahhab, yang cenderung mengucilkan, menyerang, dan menghukum kaum kafir, sebagai model yang jauh lebih efektif. Itulah sebabnya, orang-orang militan seperri Faraj, terkait dengan pandangan teologis mereka, lebih dekat kepada Abd al-Wahhab ketimbang Quthb. Karena itulah, bentuk baru puritanisme ini agak ambivalen bila dibandingkan dengan Quthb. Sekalipun mereka tertarik pada pandangan dikotomis Quthb mengenai masyarakat muslim dan dunia, mereka merasa bahwa keengganan Quthb unruk menggunakan kekuatan militer sebagai sesuatu yang sangat mengganggu, dan dengan begitu kaum puritan baru ini acap kali menyerang dan mengutuk Quthb, sembari memuji dan mengidealkan Abd al-Wahhab.71

69. Emmanuel Sivan, Radical Islam: Medieval Theology and Modern Politics (New Haven: Yale University press, 1985), h. 2l-22.

70. Gilles Kepel, Muslim Extremism in Egypt: The Prophet and Pharaoh, penerjemah: John Rodrschild (Los Angeles: University of California Press, l984), h. 203-204.

71. Oliver Roy, Clobalized Islam: The Search for A New Ummah (New York Columbia University Press, 2004). h. 250, mencermati fakta bahwa kaum militan muslim mengkritisi dan menyalahkan Quthb.

Dengan cara serupa, sementara para ulama tradisional biasa menggambarkan kaum Wahhabi sebagai Khawarij Islam di era modern, sebutan yang sama juga digunakan untuk melukiskan orang-orang puritan baru ini. Orang-orang ini, seperti Wahhabi, benar-benar jijik terhadap para ahli hukum Islam. Demikianlah, misalnya, kelompok Syukri Mushthafa pada 1977 menculik dan mengeksekusi mati Muhammad al-Dzahabi, syekh terhormat dari Azhar yang tak lain adalah mantan Menteri wakaf. Dalam banyak detailnya, pemikiran Syukri Mushthafa nyaris identik dengan pemikiran Abd al-Wahhab.72

72. Ia menolak empat mazhab hukum, dan juga menolak keragaman pendapat di dalam tradisi hukum Islam’ Syukri Mushthafa melihat bahwa dalam sebagian besar sejarah Islam terjadi penyimpangan dan, karena itu, ia menegaskan bahwa perlu kembali ke sumber orisinal Islam (Alquran dan Sunah), dan menafsirkan kembali maknanya.

Tetapi, sebagaimana terjadi pada Abd al-Wahhab, ia meneguhkan hak individualnya untuk membaca Alquran dan Sunah secara literal dan menciptakan makna pasti dari tek-teks tersebut. Dengan cara yang mirip dengan pendekatan Abd al-Wahhab, sejauh menyangkut Syukri Mushthafa, pembacaan den pemahaman kelompoknya terhadap teks tersebut sangat menentukan, dan siapa pun yang berbeda pendapat dengan pemahaman mereka kemudian akan disebut pelaku bidah dan murtad.

Menurut Syukri dan Faraj, kelompok yang selamat – kelompok kaum beriman – harus menggalakkan perang tiada henti terhadap semua sisa-sisa kultur jahiliyyah di mana pun ia ditemukan [Gilles Keppel, Jihad: The Trial of Political Islam (Cambridge: Harvard University Press, 2002), h. 85; David Sagiv, Fundamentalism and Intellectuals in Egypt 1973- 1993 (London: Frank Cass, 1995), h. 47-49; Johannes J.G. Jansen, The Dual Nature of Islamic Fundamentalism (Ithaca, NY: Cornell University Press, 1997), h. 76-30].

Nyaris identik dengan teologi Wahhabi, baik Syukri maupun Faraj percaya bahwa semua muslim, selain pengikut mereka sendiri, adalah musyrikin (politeis) dan tidak hanya dibolehkan, tetapi justru wajib melancarkan perang terhadap mereka, bahwa kaum laki-laki harus dibunuh, bahwa kaum perempuan dan anak-anak harus dibunuh atau diperbudak, dan bahwa harta mereka tidak punya nilai kesucian. Akan tetapi, konteks historis tidak berpihak pada rencana penaklukan militer oleh orang seperti Syukri dan Faraj. Mereka tidak bisa meniru menggunakan aksi-aksi kekerasan seperti ‘Abd al- Wahhab karena, sebagaimana orang- orang sejenisnya di banyak negara muslim, mereka berhadapan dengan negara-negara kuat yang menekan mereka.

Pada akhir 1970-an, Wahhabisme mulai bergabung menganut keyakinan model Salafisme, sehingga sampai menjadikan Salafisme sebagai kata khusus untuk mengungkapkan nilai-nilai anti-liberal. Puritanisme yang lahir dari proses ini kemudian senantiasa intoleran, merasa lebih unggul atau superior, menindas kaum perempuan, menentang rasionalisme, membenci bentuk-bentuk kreatif ekspresi artistik, dan sangat literalis. Akan tetapi, sementara semua kelompok militan Islam adalah puritan, Salafi, dan Wahhabi, tidak semua kelompok’puritan adalah militan. Beberapa kelompok puritan menerima pendekatan Mawdudi atau Quthb dan mengikuti wahhabisme, tetapi bercita-cita mendirikan masyarakat Islam sejati lewat aktivisme dan upaya bujukan yang relatif tidak kasar, dan bukannya lewat kekerasan.

Mengapa minim reaksi dunia islam

Mayoritas pemerintah muslim menoleransi gerakan puritan sepanjang mereka tidak melakukan kekerasan. Akan tetapi, di sangat sedikit negara, terdapat sebentuk respons ideologis yang efektif terhadap gerakan-gerakan puritan ini. Salah satu penyebab utama dari kegagalan yang meluas ini adalah keengganan para sarjana dan intelektual muslim untuk menunjukkan bahwa wahhabi adalah pangkal dari gerakan puritan ini. Khususnya pada 1980-an dan 1990-an, selain kalangan sufi dan syiah, sangat sedikit sarjana yang berani mengkritisi pengaruh wahhabi pada paham Salafi.73

73. Di antara sedikit buku semacam ini yang ditulis oleh kalangan Suni adalah karya Ahmad Mahmud Subhi, Hal Yu’ad al-Madzhab al-Wahhabi Salafyyan (Alexandria: Dar al-Wafa’, 2004). Dalam buku ini dia menyatakan bahwa Wahhabi pada dasarnya tidak selaras dengan ajaran Salafi.

Kritik yang diarahkan pada Arab Saudi atau wahhabisme dipandang berisiko dan bahkan berbahaya. Setidaknya, melalui kendali mereka atas dua tempat suci, Mekah dan Madinah, pemerintah Saudi memiliki kekuasaan yang sangat kuat-yakni kekuasaan untuk memberikan visa atau tidak kepada setiap muslim di dunia. Kekuasaan untuk mengatur akses ke Mekah dan Madinah ini pada akhirnya berarti bahwa pemerintah Saudi bisa memutuskan apakah seorang muslim akan dapat melaksanakan ibadah ke tempat suci itu atau tidak. Fakta ini saja memungkinkan pemerintah Saudi untuk memiliki peran yang berdampak sangat serius atas kehidupan umat Islam di dunia. Setiap sarjana muslim yang berani mengkritisi Wahhabisme, umpamanya, tak akan mendapatkan visa untuk mengunjungi tempat suci itu, dan bagi banyak kaum muslim yang saleh ini akan menjadi tamparan emosional yang sangat serius.74

74. Tentang kendali Saudi atas ibadah haji dan dampaknya, lihat David Long, The Kingdom of Saudi Arabia (Tampa, FL: University Press of Florida, 1997), h. 93-106.

Arab Saudi mengeksport paham Wahhabi

Selain itu, dimulai pada ah,hir 1970-an dan awal 1980-an, Arab Saudi telah memulai satu kampanye sistematis untuk menyebarkan pemikiran Wahhabi di kalangan umat Islam yang berada di negara-negara muslim maupun nonmuslim.75 Lebih penting lagi, Arab Saudi telah menciptakan sejumlah sistem bantuan finansial berskala dunia dengan memberi bantuan yang melimpah bagi mereka yang menyokong “tipe pemikiran yang benar” atau mereka yang benar-benar menahan diri untuk tidak mengkritisi paham Wahhabi. Sistem bantuan finansial ini juga dipakai untuk mengontrol apa yang dicetak oleh para penerbit atau siapa yang diundang untuk mengikuti perkumpulan atau konferensi prestisius. Kesenjangan kekayaan antara kebanyakan negara muslim dan Arab Saudi, dan pengaruh hegemonik atas uang minyak di negara-negara muslim, membuat kebanyakan sarjana Islam mustahil untuk mencoba mengkritisi paham Wahhabi.

75. Untuk deskripsi tentang upaya yang dilakukan pemerintah Saudi untuk menyebarkan paham V/ahhabi ke seluruh dunia, lihat Stephen Schwartz, The Two Faces of Islam: The House of Sa’ud from Tradition to Terror (New York Doubleday, 2002), h. 181- 225; Dore Gold, Hatred’s Kingdom (Washington, DC: Regnery Publishing Inc., 2003); Algar, Wahhabism, h. 49-66. Tentang penyebaran pemikiran ‘Wahhabi di Amerika Serikat, lihat Freedom House Report, Saudi Publications on Hate Ideology Fill American Mosques (Washington, DC: Center for Religious Freedom, 2005).

Sebagai contoh konkret, misalnya, seorang sarjana muslim yang selama enam bulan menjalankan tugas belajar di universitas di Arab Saudi akan memperoleh uang yang lebih banyak selama masa belajar ini ketimbang sepuluh tahun mengajar di Universitas al-Azhar Mesir. Dengan cara yang sama, para penulis atau imam yang mendukung sikap pro-Wahhabi akan memenuhi syarat untuk mendapatkan kontrak, kucuran dana, dan hadiah yang menguntungkan. Acap kali pemerintah Arab saudi membeli buku-buku yang ditulis para penulis pro-Wahhabi dalam jumlah yang besar untuk menjamin para penulis ini agar mendapatkan keuntungan yang sangat tinggi dan menciptakan sistem insentif bagi para penerbit untuk menerbitkan buku-buku jenis tertentu. Perkembangan yang paling menggelisahkan pada dekade 1980-an dm 1990-an adalah adanya sejumlah sarjana muslim yang dikenal karena liberalisme dan rasionalisme mereka ternyata juga menulis buku-buku yang membela Muhammad ibn Abd al-Wahhab dan paham wahhabi-mereka memotret wahhabisme sebagai suatu gerakan yang paling sanggup menghadapi tantangan modernitas. Apa pun yang ada di benak orang tentang motif para penulis ini, yang jelas mereka mendapatkan banyak imbalan atas kontribusi mereka ini, walaupun buku-buku mereka sangat diwarnai dengan sikap memilih-milih dan banyak menampilkan fakta yang secara historis tidak akurat.76

76. Untuk contoh buku-buku semacam itu, lihat Muhammad Fathi Osman, al-Salafiyyah fi al-Mujtama’at al-Mu’ashirah [Salafi di Masyarakat Modern] (Kuwait: DAr al-Qalam, 1981). Penulisnya menyamakan orang Wahhabi dan Salafi, dan juga memuji-muji Abd al-WahhAb dan gerakannya; lihat khususnya h. 31- 87. Menariknya, sang penulis adalah seorang profesor di Arab Saudi ketika sedang menulis buku itu. Pembelaan lain yang tak tahu malu terhadap gerakan Wahhabi oleh sarjana liberal adalah Muhammad Jalal Kisyk, al-Sa’udiyyun wa al-Hall al-Islami [Bangsa Saudi dan Solusi Islam] (West Hanover, MA: Halliday, 1981). Akan tetapi, buku ini sedikit lebih berimbang ketimbang karya Osman. Menariknya, Kisyk adalah penerima penghargaan Raja Faisal yang sangat berpengaruh. Sebuah buku berbahasa Arab yang diterbitkan di London secara kritis menganalisis dan mengilustrasikan banyak fakta yang tak menyenangkan tentang paham Wahhabi yang diabaikan dalam buku Kisyk. Lihat Khalifa Fahd, Jahim al-Hukm al-Sa’udi wa Niram al-Wahhabiyyah (London: al-Safa Publishing, 1991). Sebagaimana ditunjukkan oleh penulis buku ini, banyak penulis muslim dan nonmuslim dari negara muslim dan nonmuslim sangat mendapatkan imbalan lantaran menulis teks-teks yang pro-Wahhabi.

Muhammad al Ghazali

Pada 1989, ulama Salafi yang berpengaruh dan produktif, Muhammad al Ghazali (w.1996) melakukan sesuatu yang tak terpikirkan. Ia menulis serangkaian kritik tajam terhadap pengaruh wahhabi atas keyakinan Salafi. Al-Ghazali merasa semakin kesal atas antirasionalisme dan ketakbermoralan mereka yang mengaku sebapi kaum Salafi, dan kaum puritan pada umumnya. Meskipun sadar akan pengaruh Vahhabi pada Islam kontemporer, al-Ghazali tidak berani mengkritik wahhabi secara eksplisit atau langsung. Sebaliknya, ia menyebut mereka sebagai Ahl al-Hadits era modern, dan ia benar-benar mengkritisi apa yang ia sebut sebagai literalisme, antirasionalisme, dan pendekatan mereka atas teks-teks Islam yang anti-interpretasi.

Ahl al-Hadits adalah ungkapan halus yang merujuk pada gerakan literalis dalam sejarah Islam yang mengklaim sunguh-sungguh mengikuti tradisi Nabi, dan juga menggunakan interpretasi dan nalar tanpa pengaruh “yang merusak”. Ahl al- Hadits menyibukkan diri mereka dengan menghimpun, mendokumentasi, dan meriwayatkan hadis-hadis yang dinisbahkan pada Nabi dan para Sahabat, dan mengklaim bahwa mereka menyandarkan penilaian hukum mereka pada hadis-hadis ini tanpa tercampuri oleh subjektivitas manusia. Pada abad ke-4 H./ke-10 M., terdapat keserupaan yang kuat antara pengikut Ahmad ibn Hanbal (w. 241 H/855 M.), pendiri mazhab Hanbali, dan Ahl al-Hadits-walaupun Ahl al-Hadits menyatakan tidak mengikuti mazhab mapan mana pun dan hanya menjadi pengikut kebenaran. Keserupaan ini sangat dekat sekali sehingga pada satu periode waktu tertentu istilah Ahl al-Hadits merujuk pada para sarjana Hanbali yang literalis dan suka menerjemahkan hukum secara kaku. Yang terpenting, dalam tradisi yurisprudensi, Ahl al- Hadits merepreseetasikan pikiran tertutup, konservatisme, dan kebodohan.77

77. Tentang Ahl al-Hadits, lihat Khaled Abou El Fadl, Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority, and Women (Oxford: One- world Publications, 2001), h. 114; Khaled Abou El Fadl, And God Knows the Soldiers: The Authoritative and Authoritarian in Islamic Discourses (Lanham, MD: University Press of America, 2001), h. 48,78.

Bagi al-Ghazali, pada zaman dan eranya, pendekatan kaum Salafi terhadap teks-teks Islam betul-betul mengingatkannya pada literalisme Ahl al-Hadits pada periode pramodern, yang suka membicarakan hal-hal detail menyangkut aturan tertentu dan menentang setiap orientasi rasionalis di dalam Islam.78 Dengan menggunakan istilah Ahl al-Hadits untuk mendeskripsikan kaum Wahhabi, al-Ghazali juga sedang menyentil kontroversi historis lama antara apa yang disebut sebagai kalangan “ahli farmasi” dan kalangan “dokter” Islam. Menurut sejumlah sarjana klasik, mereka yang menghimpun dan meneruskan hadis, Ahl al Hadits, ibarat ahli obat yang membuat dan memelihara bahan kimia, tetapi tidak tahu bagaimana cara mendiagnosis suatu penyakit atau menentukan obat yang tepat. Sementara itu, para ahli hukum lebih mirip dengan dokter, yang menggunakan bahan yang disuplai oleh ahli farmasi tetapi juga memanfaatkan pengetahuan dan penguasaan yang lebih baik untuk memberi pengobatan atas suatu penyakit tertentu.79

78. Muhammad al-Ghazali, al-Sunah al-Nabawiyyah Bayn Ahl al- Fiqh wa Ahl al-Hadits (Kairo: Dar al-Syuruq, 1989).

79. Ibn Abmad al-Makki, Manaqib Abu Hanifah (Beirut: Dar al- Kitab al-’Arabi, 1981), h. 350.

Demikian pula, al-Ghazali yah,tn bahwa Ahl al-Hadits era modern, yang juga ia sebut kaum tradisionis, tahu bagaimana menghirnpun dan menghafal hadis, tetapi tak tahu bagaimana mengolah bahan-bahan sumber itu dengan metodologi hukum demi menghasilkan yurisprudensi. Para tradisionis (yakni, ahli farmasi) tidak mengerti bagaimana mengaplikasikan metode-metode hukum pada bahan-bahan mentah itu, bagaimana menyeimbangkan antara bukti yang saling bersaing dan bertentangan, bagaimana menimbang tujuan-tujuan hukum di hadapan alat atau sarana, bagaimana menilai kepentingan pribadi di hadapan kepentingan publik, bagaimana menganalisis ketegangan antara aturan-aturan tertentu dan prinsip hukum tertentu, bagaimana menyeimbangkan antara penghargaan atas preseden dan tuntutan akan perubahan, bagaimana memahami alasan-alasan di balik perbedaan pendapat, dan bagaimana mengkaji banyak kepelikan yang menyertai proses penetapan suatu putusan hukum.

Al-Ghazali berpendapat bahwa kalangan tradisionis tidak terdidik dalam bidang teori hukum atau seluk-beluk metodologi hukum, dan oleh karena itu tidak memenuhi syarat untuk mengeluarkan putusan hukum. Kenyataannya, menurut al-Ghazali, ketika para tradisionis ini melangkahi yurisprudensi dan berupaya mempraktikkan hukum, mereka pada akhirnya bertindak sebagai pelempar hadis-yakni, melemparkan hadis-hadis kepada lawan-lawan mereka untuk mengalahkannya. Akhirnya, al-Ghazali menuduh kaum wahhabi sebagai tak lebih dari pelempar hadis-hadis Nabi. Para pelempar hadis, karena kebodohan mereka akan teori dan metodologi yurisprudensi, memperlakukan hukum dengan gaya oportunistik dan tak keruan. Mereka melacak ribuan pernyataan dan ucapan yang dinisbahkan pada Nabi demi menemukan apa pun yang bisa mereka gunakan untuk mendukung sikap yang sudah terbentuk dan ditentukan sebelumnya. Dalam kenyataannya, mereka memanfaatkan hadis-hadis yang diriwayatkan mengenai Nabi dengan cara semena-mena dan semaunya guna mengafirmasi pandangan apa pun yang ingin mereka dukung.80

80. Tentang pengutipan hadis secara selektif oleh orang-orang Wahhabi untuk mendukung pandangan idiosinkratis, lihat al- Sayyid Muhammad al-Kutsayri, al-Salafiyyah bayn Ahl al-Sunah wa al-’Imamiyyah (Beirut: al-Ghadir li al-Thiba’ah, 1997), h. 477-479.

Akibatnya, sikap kalangan tradisionis (atau pelempar hadis) ini sering berujung pada merancukan kebiasaan serta preferensi kultural mereka dengan hukum Islam. Mereka suka memilih-milih dalam memungut berbagai bukti yang mendukung bias budaya mereka dan kemudian mengklaim bahwa praktik budaya itu adalah bentuk hukum Islam yang diperintahkan. Al-Ghazali menegaskan bahwa lantaran orang-orang ini tidak bertindak sesuai dengan metodologi yang ketat atau pendekatan yang berpegang pada prinsip tertentu dalam memikirkan kehendak Tuhan, mereka ujung-ujungnya merusak hukum Islam.

Al-Ghazali tidak hanya menuduh Ahl al-Hadits atau kaum tradisionis – akhirnya, kaum Wahhabi – sebagai kelompok yang merusak hukum Islam. Ia mengecam Ahl al-Hadits modern, atau kaum ‘Wahhabi, karena mereka menghidupkan fanatisme yang mencemarkan citra Islam di dunia. Ia mengatakan bahwa Ahl al-Hadits zaman modern didera sikap isolasionis dan arogan sehingga membuat mereka tidak peduli pada apa yang dipikirkan oleh umat manusia yang lain tentang Islam atau umat Islam. Dalam pencermatan al-Ghazali, sikap arogan dan intoleran ini melecehkan dan memiskinkan pemikiran Islam, serta menampik universalisme dan humanisme Islam. Dengan agak mengesankan, al-Ghazali menyatakan bahwa Ahl al-Hadits zaman modern, atau kaum Wahhabi, memerangkap Islam di dalam lingkungan yang gersang dan keras, dan di situ ciri-ciri peradaban humanis jelas-jelas tidak terlihat. Akhirnya, tegas al-Ghazali, Salafi kontemporer di bawah pengaruh kaum Wahhabi telah menciptakan sebuah Islam Badui, dan Islam Badui ini telah tersebar dan berpengaruh.

Al-Ghazali sangat membela tradisi hukum di dalam Islam, dan mengutuk perlakuan ambivalen serta penolakan yang dilakukan Islam Badui atas tradisi ini. Mengingat kerancuan yang telah mengepung makna kata Salafisme, al-Ghazali enggan terlibat dalam perdebatan tentang siapa kaurn Salafi yang sejati dan sesungguhnya. Namun ia betul-betul mendorong untuk kembali kepada metodologi para sarjana, seperti Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, yang merupakan para pionir gerakan Salafi. Dengan kata lain, al-Ghazili mencoba mengembalikan pemikiran Salafi pada asal-usulnya yang liberal dan tecerahkan sebagai satu gerakan perubahan yang sejati. Secara implisit, ia sekali lagi mencoba membedakan dan menceraikan Salafisme dari Wahhabisme, dengan menyatakan bahwa yang terakhir telah mengotori yang pertama.

Sejumlah besar sarjana muslim bukannya telah melakukan upaya semacam itu semenjak dekade 1930-an. Al-Ghazali terlibat dalam penilaian kritis introspekif terhadap kondisi pemikiran kaum muslim, dan berkesimpulan bahwa sumber kegagalan umat Islam berada pada diri mereka sendiri. Al- Ghazali menandaskan bahwa kegagalan untuk mendemokratisasi, menghargai hak asasi, memodernisasi, dan membela reputasi Islam di dunia bukanlah produk dari konspirasi dunia yang membenci Islam. Menurut al-Ghazali, jika umat Islam menyalahkan orang lain atas kegagalan yang mereka alami, ini bertentangan dengan etika Islam; umat Islam harus melihat ke dalam diri mereka sendiri.

Yang menyedihkan, problem-problem yang coba al-Ghazali jawab ternyata jauh lebih mewabah dan telah menjadi lebih rumit daripada yang ia sadari. Untuk jangka waktu yang terlalu lama, tokoh-tokoh muslim berpengaruh tetap diam terhadap praktik kaum Wahhabi yang suka membantai orang. Bahkan, wilayah yang telah dipengaruhi Saudi jauh lebih luas ketimbang yang disadari al-Ghazali. Misalnya, Rasyid Ridha, yang dipuji oleh al-Ghazali, barangkali memang termasuk salah satu dari ulama terliberal dan kreatif dari awal abad ke-20; tetapi ia juga seorang pembela Wahhabi. Ridha menulis banyak artikel yang memotret Abd al-Wahhab sebagai sosok reformis besar dan sebagai pioner gerakan Salafi. Namun, ide-ide dan tulisan- tulisan liberal Ridha secara mendasar tidak sejalan dengan Wahhabisme, sehingga sesudah kematian Ridha, kaum Wahhabi pelan-pelan menyalahkan dan memfitnah Ridha.81 Sebagai bukti demonstratif atas pengaruh Wahhabi di negara-negara muslim, Saudi mencekal tulisan-tulisan Ridha, berhasil mencegah upaya cetak ulang karya-karyanya — bahkan di Mesir– dan membuat buku-bukunya sangat sulit dicari.82

81. Muhammad ibn Abd Allah al-Salman, Rasyid Ridha wa Da’wat al-Syaykh Muhammad ibn Abd al-Wahhab (Kuwait: Maktabat al- Ma’alla, 1988).

82. Misalnya, fatwa-fatwa Rasyid Ridha dihimpun dan dipublikasikan dalam enam jilid pada 1970 oleh sebuah penerbit yang dikenal dengan nama Dar al-Jil. Arab Saudi membayar Dar al-Jil sehingga penerbit itu tetap memiliki hak cipta buku tersebut tetapi tidak mendistribusikan atau menjual buku tersebut. Saya menemukan satu kopi dari enam jilid buku tersebut dijual di Mesir. Harga jualnya di pasaran senilai empat ribu dolar-harga yang terbilang lebih mahal dari biasanya di Mesir.

Pemikir liberal lain yang tulisan-tulisannya lenyap akibat tekanan terus-menerus dari pemerintah Saudi adalah ahli hukum Yaman bernama Muhammad al-Amir al-Husaini al- Shan’ani (w. 1182 H./1768 M.). Al-Shan’ani meninggal kira-kira satu setengah abad sebelum Rasyid Ridha. Namun, sebagaimana Ridha, ia adalah salah satu bapak pendiri keyakinan liberal kaum Salafi. Seperti Ridha, al-Shan’ani memuji Abd al-Wahhab sebagai reformis Salafi dan bahkan menulis sebuah puisi untuk menghormatinya. Akan tetapi, berbeda dengan Ridha, ketika al-Shan’ani mendengar kekejaman yang dilakukan kekuatan tentara Abd al-Wahhab di mana-mana. ia menolak untuk berperan sebagai pembela jenis Islam yang tak manusiawi dan mengutuk Abd al-Wahhab lewat sebuah karya puisi baru yang sangat kuat.83

83. Puisi pertama yang memuji Abd al-Wahhab dan puisi kedua yang mengecamnya dicetak di dalam buku al Imam Muhammad ibn Isma’il al-Amir al-Husyan al-Shan’ani, Diwan al-Amir al- Shan’ani (Beirut: Dar al-Tanwir, 1986), h. 166, 173.

Barangkali jika lebih banyak para penulis Salafi yang menempuh jalan seperti al-Shan’ani, dan bukannya seperti Ridha, paham Salafi dapar terap bertahan pada orientasi liberalnya, dan boleh jadi tak akan sebegitu mudah dikooptasi oleh keyakinan Wahhabi. Mungkin jika paham Salafi tetap liberal, ia dapat digunakan untuk menghadang persebaran Wahhabisme. Akan tetapi, dengan persediaan dana Arab Saudi yang melimpah untuk mendukung ajaran-ajaran Wahhabi, tak mungkin ada kekuatan yang dapat secara efektif menghalangi arus persebaran pengaruh Wahhabi.

Karena pengaruh Arab Saudi yang begitu luas, tak mengherankan bila reaksi terhadap buku al-Ghazali sangat gila dan eksplosif; banyak orang puritan yang menulis buku untuk mengecam al-Ghazali dan mempertanyakan motif dan kompetensinya. Beberapa konferensi besar digelar di Mesir dan Arab Saudi untuk mengkritisi buku itu. Pada tahun 1989, surat kabar Saudi, al-Syarq al-Awsath, memuat beberapa artikel panjang merespons al-Ghazali. Penting untuk dicatat, kita dapat melihat pengaruh pemerintahan Saudi yang begitu luas dari fakta bahwa kebanyakan buku yang ditulis untuk menentang al-Ghazali itu ternyata diterbitkan di Mesir, dan bukan di Arab Saudi sendiri.84 Banyak kritikus al-Ghazali yang melontarkan klaim tidak masuk akal bahwa al-Ghazali tidak terdidik di bidang hukum Islam, sementara yang lain menuduhnya terpesona oleh Barat, atau bahwa ia telah benar-benar mengkhianati pemerintah. Sulit menilai apakah respons penuh benci terhadap buku itu merupakan sebentuk kecemasan yang dirasakan oleh kaum puritan akan hilangnya cengkeraman mereka atas umat Islam karena kekuatan argumen yang dipaparkan al-Ghazili. Bagaimanapun juga, respons terhadap buku al- Ghazali sesungguhnya sangat mengintimidasi setiap sarjana muslim lain yang berani menggunakan pendekatan kritis-diri seperti itu. Sungguh lebih aman untuk tetap melekatkan diri pada pemikiran apologetis atau tujuan politik populer dan tidak mengungkit-ungkit persoalan Wahhabisme.85

84. Berikut ini adalah daftar sebagian buku yang menyerang al- Ghazali: Muhammad Jalal Kisyk, al-Syaykh al-Ghazali bayn al- Naqd al-Atib wa al-Madh al-Syamit (Kairo: Maktabat al-Turats IslAmi, 1990); Asyraf bin Ibn al-Maqshud ibn Abd al-Rahim, Jinayat al-Syaykh al-Ghazali ‘ala al-Hadits wa Ahlihi (al-Isma’iliyyah, Mesir: Maktabat al-Bukhari, 1989); Jamal Sulthan, Azmat al-Hiwar al-Dini: Naqd Kitab al-Sunah al-Nabawiyyah bayn Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadits (Kairo: Dar al-Shafa, 1990); Salman bin Fahd ‘Uwdah, Fi Hiwar Hadi’ ma’a Muhammad al-Ghazali (Riyadh: t.p., l9B9); Rabi’ bin Hadi Madkhali, Kasyf Mawqif al-Ghazali min al-Sunah wa Ahlihi wa Naqd Ba’dh Araihi (Kairo: Maktabat al-Sunah, 1410); Muhammad Salamah Jabr, al-Radd al-Qawim ‘al6 man Janab al-flaqq al-Mubtn (Kuwait: Maktabat al-Sahwa al-Ismailiyya,1992), khususnya h. 100-108. Lihat juga Abu ‘Ubaydah, Kutub Hadzdzar minha al-’Ulama’, jilid pertama, h. 274-228, 327-429.

85. Misalnya, pada waku hangat-hangatnya kontroversi itu, bahkan ulama Mesir yang sangat berpengaruh, Yusuf al-Qaradhiwi, yang merupakan kolega dan teman al-Ghazali, tetap tutup mulut. Tetapi beberapa tahun sesudah al-Ghazili wafat, ia menulis dua buku: satu tentang sejarah hidup al-Ghazali dan satunya lagi tentang kontroversi itu. Dalam kedua buku itu, ia membela kesalehan dan pengetahuan al-Ghazali, tetapi ia tidak melanjutkannya dengan mengkritisi kaum Wahhabi; lihat Yusuf al-Qaradhawi, al-Imam al-Ghazali bayn Madihih wa Naqidih (Beirut: Mu’assasat al-Risalah, 1994); Yusuf al-Qaradhawi, al- Syaykh al-Ghazali kama Araftuh: Rihlat Nklf Qarn (Kairo: Dar al-Syuruq, 1994).

Muhammad al-Ghazali wafat tak lama setelah menderita lewat kontroversi yang mengelilingi bukunya. Saya mengenal al-Ghazali, dan saya tahu bahwa ia berpikir keras untuk menyelamatkan masa depan Islam dan nasib ideologi Salafi. Akan tetapi, buku al-Ghazali telah menyimbolkan suatu teriakan bernada protes terhadap perubahan ideologi Salafi – sebuah perubahan yang pada ujungnya meruntuhkan banyak usaha kaum reformis liberal yang menulis pada akhir abad ke-19 dan permulaan abad ke-20. Pada lima puluh tahun terakhir, ideologi Salafi telah surut dari suatu gugus kekuatan potensial modernisasi menjadi gugus wacana apologetis. Namun, dengan bergabung bersema ideologi Wahhabi, Salafisme kemudian melahirkan gerakan puritan yangr sangat kuat; bertenaga, dan kadang kala sengat membahayakan.

menerut observasi yang saya lakukan beberapa hari terakhir, terlihat bahwa paris hilton lebih banyak mendapatkan hati orang-orang.

dengan ciri-ciri, lebih banyak viewers yang melihat video tentang paris hilton dibandingkan britney spears. mungkin mereka lebih memilih paris karna dia jarang terlibat masalah di banding britney yang telah kita ketahui telah masuk buih dengan menggunakan narkoba .paris hilton juga lebih banyak bersosialisasi dengan orang banyak ketimbang britney . walaupun paris terlihat sangat glamor tapi dia selalu mebantu apabila ada bencana atau apapun.oleh sebab itu paris lebih banyak mendapat hati orang-orang.

dari pengamatan yang saya lakukan . dapat disimpulkan bahwa paris lebih banyak yang menyukai dari pada britney spears .

Tugas vocabulary

nama      : michelia champaca

kls             : 1SA01

Piano       : large musical instument in which metal strings are struck by hammers operated by pressing black and white keys.

Rabbit    : small animal with long ears that lives in a hole in the ground.

Star       : large ball of burning gas seen as a point of light in the sky at night

Snake     : reptile with a long body and no legs.

Snail       : small soft animal that moves very slowly and has a shell on its back

Egg         : round object with a hard shell, containing a baby bird.

Broom     : brush with a long handle for sweeping floors.

Bat         : animal like a mouse with wings that flies and feeds at night.

Bear       : heavy wild animal with thick fur and sharp claws.

Bed         : piece of furniture that you sleep on.

Bag         : flexible container an opening at the top.

Blouse     : piece of clothing like a shirt, worn by women.

Cabinet   : piece of furniture with drawers or shelves for storing things.

Cake       : sweet food made from a mixture of flour, eggs, butter, etc . baked in an oven

Cactus   : plant that grows in hot dry regions, especially one with thick stems and prickles

Cafetaria          : restaurant where you choose and pay for your meal at a counter and carry it to your table.

Camel      : animal with a long neck and one or two humps on its back.

Camera   : piece of equipment for taking photographs or moving pictures.

Candy      : sweet food made of sugar or chocolate, eaten between meals.

Canvas    : strong coarse cloth used for making tents, sails, etc and by artists for painting on.

Caramel   : burnt sugar used for colouring and flavouring food.

Carton    :cardboard or plastic box for holding especially food or liquid.

Cat         : small furry animal often kept as a pet.

Cassette : small sealed case containing magnetic tape or film.

Ceramic  : object made of clay that has been made permanently hard by heat.

Chair      : moveable seat with a back, for one person.

Dagger   : short sharp knife used as a weapon.

Daisy      : small flower with a yellow centre and white petals.

Diamond  : very hard clear colourless precious stone.

Dog         : common animal kept by people hunting, guarding, etc or as a pet

Doll         : child’s toy in the shape of a person, especially a baby or a child.

Donkey    : animal like a small horse, but with longer ears.

Door       : piece of wood, used for closing the entrance to a room, etc .

Dress     ; piece of woman’s clothes, especially as a job.

Eagle      : large strong bird that eats small animal


  • None
  • No comments yet

Categories

  • 1 (10)